KBRN, Jakarta: Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persyaratan batas usia capres-cawapres. Sebelumnya MK menyatakan kepala daerah berusia di bawah 40 tahun bisa maju sebagai capres-cawapres.
Kepala Pusat Riset Politik (PRP) BRIN, Athiqah Nur Alami, mengatakan putusan tersebut janggal, aneh, dan bahkan cacat hukum. Dia juga menilai putusan itu juga tidak ditetapkan secara bulat oleh sembilan hakim MK.
"Ada tiga hakim setuju, dua concurring opinion, dan empat disenting opinion," ujarnya, Kamis (19/10/2023). Selain itu, lanjut Athiqah, putusan MK dianggap tidak konsisten dan sarat muatan politis.
Athiqah menyebutkan putusan MK terkesan memberi jalan atau pintu masuk kepada kepentingan perorangan atau kelompok dibandingkan negara. "Kami khawatir dalam jangka panjang ini akan menjadi ancaman serius bagi demokrasi kita," ucapnya.
Athiqah menambahkan dirinya hanya bermaksud menyampaikan pandangan akademik dari para peneliti politik dan hukum BRIN. "Masalah batas usia capres dan cawapres tersebut telah menimbulkan respons dan polemik di kalangan masyarakat dan akademisi," ujarnya.
Sementara itu, anggota Perludem Fadli Ramadhanil mengatakan putusan MK tersebut merupakan satu tragedi dalam proses demokratisasi di Indonesia. Menurut dia, Perludem menolak penurunan syarat usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
”Usia ini bukan hal yang diskriminatif dalam persyaratan capres dan cawapres," katanya. Hal ini karena tidak terdapat unsur SARA dalam persyaratan tersebut dan telah menjadi kebijakan hukum dari pembuat undang-undang.
Pewarta: Dedi Hidayat
Editor: Syahrizal Budi Putranto
Sumber: RRI