Selama kurang lebih dua pekan penyelenggaraan pesta olahraga empat tahunan itu, tak ada salahnya menyempatkan waktu mengeksplorasi calon ibukota Provinsi Papua Selatan yang memiliki sejumlah ikon wisata yang wajib dikunjungi seperti berikut ini:
Monumen Kapsul Waktu Merauke
Monumen yang dibangun di atas lahan seluas 2,5 hektar di dekat Bandara Mopah itu menjadi ikon baru di kota paling Timur di Indonesia.
Desain arsitektur modern Monumen Kapsul Waktu dirancang oleh arsitek Yori Antara Awal dengan mengadopsi unsur budaya asli Papua dan dapat dilihat saat pesawat mendarat di Merauke.
Bangunan berbentuk tugu tersebut terinspirasi dari menara perang Suku Dani, dengan lima akses masuk bangunan yang merepresentasikan lima suku asli Merauke (Malind, Muyu, Mandobo, Mappi dan Auyu) sebagai penjaga tugu kapsul waktu.
Diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 2018, landmark yang bernama lengkap Monumen Kapsul Waktu Impian Indonesia 2015-2085 itu merupakan wadah sejarah berbentuk kapsul tempat menyimpan dokumen yang bertuliskan mimpi-mimpi masyarakat dari tiap provinsi di Indonesia, yang diletakkan sedari tahun 2015 dan akan dibuka lagi nanti pada 2085.
Baca juga: Untuk tamu PON XX, Pemkot Jayapura siapkan pamflet wisata
Sunset dan susur pantai Merauke
Melihat matahari tenggelam di Merauke tiada duanya karena kota di ujung timur Nusantara itu memiliki garis pantai yang menghadap ke barat.
Ketika sore hari, daerah pesisir pantai seperti Pantai Imbuti atau Pantai Lampu Satu yang tak jauh dari pusat kota itu selalu ramai dikunjungi masyarakat yang ingin menikmati kecantikan ufuk barat ketika matahari menuju peraduannya di Laut Arafura.
Pantai Lampu Satu di Kampung Buti, Merauke, dengan garis pantainya yang memanjang juga pasir yang begitu halus menjadi salah satu lokasi terbaik untuk menikmati "sunset".
Dijuluki lampu satu karena di pantai itu berdiri mercusuar yang berlaku sebagai pemandu kapal-kapal yang melintas.
"Paling bagus melihat matahari tenggelam di sini sampai terkikis di ufuk, itu indah sekali," kata Elo, seorang pemandu setempat.
Pelancong juga bisa melihat kesibukan penduduk Kampung Bahari yang bermata pencaharian nelayan dan juga pengrajin kapal di Pantai Lampu Satu.
Kemudian Pantai Payum yang terletak tak jauh dari kampus Musamus belum banyak dikunjungi wisatawan dan pas bagi pelancong yang mendambakan ketenangan.
Pantai Payum belum banyak tersentuh tangan manusia dan nampak alami dengan pantai pasir yang lembut dan air laut yang begitu jernih.
Sementara itu, sekitar 20km ke tenggara, Pantai Onggaya memiliki keunikan tersendiri dengan pasirnya yang berwarna putih kemerahan dan hamparan kerang beragam ukuran. Pengunjung yang datang ke sana disarankan membawa jaket untuk melindungi tubuh dari dinginnya hembusan angin yang datang dari Australia.
Akan tetapi akses jalan masih menjadi kendala menuju pantai Onggaya dan Payum. "Tidak bisa pakai mobil, jalan belum diaspal, tetapi pantainya bagus dengan banyak pohon kelapa," kata Elo.
Baca juga: Pengelola Eco Wisata Mangrove Mimika perketat prokes bagi pelancong
Rumah Semut Musamus & Taman Nasional Wasur
Tanah Papua dahulu kala merupakan bagian utara dari Benua Australia sebelum terpisah di pengujung zaman es. Oleh karenanya, keanekaragaman hayati di Papua tidak jauh berbeda dari flora fauna yang menghuni Australia dan Pasifik.
Salah satu pemandangan alam unik di Merauke yang memiliki kemiripian dengan Australia adalah rumah rayap Musamus yang tingginya bisa dua kali lipat tinggi manusia.
Rumah rayap Musamus tersebar di sejumlah tempat, seperti di wisata 1000 Musamus yang berjarak sekitar dua jam perjalanan darat dari Merauke.
Warga sekitar menyebut Musamus yang merupakan rumah semut, namun lebih tepatnya mahakarya alam itu merupakan sarang dari hewan sejenis rayap yang memanfaatkan tanah, rumput dan air liurnya sebagai perekat untuk membangun pencakar langit di dunia serangga itu.
Kemudian struktur berbentuk kerucut dengan tekstur berlekuk-lekuk dengan tinggi bisa mencapai lebih dari tiga meter itu juga bisa ditemui di Taman Nasional Wasur.
Taman Nasional Wasur merupakan bagian dari lahan basah terbesar di Papua dan sedikit terganggu oleh aktivitas manusia.
Hal itu disebabkan karena masyarakat adat tinggal di dalam kawasan taman nasional tesrebut dan merupakan pemilik hak ulayat hutan adat.
Taman Nasional Wasur juga dijuluki sebagai "Serengeti Papua" karena sekitar 70 persen wilayahnya terdiri dari sabana, di samping vegetasi lainnya yang berupa hutan rawa, hutan monsoon, hutan pantai, hutan bambu, padang rumput dan hutan sagu.
Di taman nasional tersebut hidup juga sejumlah spesies endemik, seperti kanguru, burung kasuari dan cendrawasih.
"Jika beruntung, Anda bisa bertemu dengan kanguru yang berkeliaran di taman, tapi sudah semakin jarang karena mereka sering diburu," kata Baadilah, warga setempat.
Baca juga: Bandara DEO manfaatkan PON Papua XX tingkatkan kunjungan wisata
Perbatasan dan Distrik Sota
Sota, distrik yang berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Merauke, merupakan garis terdepan NKRI yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Papua Nugini.
Sota menawarkan destinasi wisata perbatasan di mana terdapat gerbang dan patok perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini. Pada akhir pekan, khususnya, taman di kawasan perbatasan Sota berfungsi sebagai tempat rekreasi yang menjadi tujuan masyarakat sekitar.
Sota juga merupakan titik 0km Merauke-Sabang yang ditandai dengan taman minimalis dengan pajangan besar angka '0 KM Merauke-Sabang' yang menjadi destinasi wisata setempat.
Dari Kabupaten Merauke, perjalanan sejauh 80km menuju Sota dapat ditempuh dalam waktu sekira satu setengah jam, melewati Kampung Wasur dan Kawasan Taman Nasional Wasur.
Baca juga: Spot foto menarik di Jayapura jelang PON Papua
Pewarta: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor: Rr. Cornea Khairany
Sumber: ANTARA
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber (ANTARA, RRI atau TVRI).