KBRN, Jakarta: Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperkirakan menjelang pemilu 2024 pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) meningkat. Yakni untuk menyebarkan informasi hoaks kepada masyarakat meningkat.
"Memang potensi 'deepfake' (teknologi rekayasa) ini cukup besar dengan memanfaatkan kecerdasan buatan (AI)." Demikian Kepala Pusat Riset Politik BRIN Athiqah Nur Alami dalam perbincangan bersama Pro 3 RRI, Sabtu (6/1/2024).
Menurut Athiqah, pemanfaatan kecerdasan buatan ini dilakukan dengan memanipulasi terhadap foto. audio dan video ini makin marak. Apalagi, hal ini disalahgunakan untuk kejahatan siber dan akhirnya dapat menimbulkan disinformasi bagi masyarakat.
Ia memperkirakan dari laporan yang didapatnya, penggunaan deepfake secara global meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat, di tahun 2023 lalu telah ada 500 ribu video dihasilkan dan sudah disebarkan di berbagai media sosial.
Dengan kondisi ini, kata dia, menunjukkan deepfake ini menjadi salah satu alat untuk menyebarkan informasi yang tidak benar. Terutama ditujukan kepada seorang kandidat calon presiden maupun calon anggota legislatif.
Menurutnya, maraknya deepfake dalam pemilu ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak. Untuk itu, masyarakat perlu meningkatkan penguasaan teknologi informasi.
"Saya pikir belum ada secara konkret. Dan ini sebenarnya juga terjadi di banyak negara sejak tahun lalu yang menggelar pemilu," ujarnya.
Selain itu, Athiqah menekankan pentingnya meningkatkan literasi bagi masyarakat dan penegakan hukum. Apalagi, Indonesia sudah mempunyai seperti UU ITE, UU Perlindungan Data Pribadi dan KUHP yang baru.
BRIN, kata dia, menyarankan KPU untuk mencegah persoalan ini agar tidak mengganggu pemilu 2024. Menurutnya, rekam jejak kandidat calon harus dibuka secara luas oleh KPU dan itu harus dimuat di website resmi milik KPU, Bawaslu dan lainnya.
Selain itu, kata dia, sosialisasi kepada masyarakat harus terus diberikan tentang lebih bijak menerima informasi hoaks. Menurutnya, masyarakat harus diajak lebih bijak dalam menerima informasi yang tidak benar.
"Masyarakat jangan asal menyebarkan. Tetapi terlebih dahulu harus menyaring informasi yang diterimanya," ujarnya.
Hal ini, kata dia, tidak hanya menjadi tugas penyelenggara pemilu. Tetapi juga semua pihak, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama dan juga kalangan akademisi.
"Termasuk juga perusahaan media sosial. Penyelenggara pemilu harus bekerjasama dengan mereka," ucapnya.
Pewarta: Iman
Editor: witokaryono
Sumber: RRI