TVRI

  • Beranda
  • Berita
  • Dewan Pakar TPN Ganjar-Mahfud: Konflik Agraria Tak Bisa Diselesaikan Tanpa Keterbukaan Data

Dewan Pakar TPN Ganjar-Mahfud: Konflik Agraria Tak Bisa Diselesaikan Tanpa Keterbukaan Data

23 Januari 2024 00:08 WIB
Dewan Pakar TPN Ganjar-Mahfud: Konflik Agraria Tak Bisa Diselesaikan Tanpa Keterbukaan Data
Dewan Pakar TPN Ganjar-Mahfud: Konflik Agraria Tak Bisa Diselesaikan Tanpa Keterbukaan Data

TVRINews, Jakarta

Dewan Pakar TPN Ganjar-Mahfud, Rieke Diah Pitaloka mengemukakan, ada beberapa pihak yang dengan sengaja menyembunyikan data konflik agraria. Hal ini berakibat pada tidak diketahuinya konflik agraria tersebut oleh pemerintah.

Berdasarkan data dari Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Rieke menjelaskan telah terjadi lebih dari 2.500 kasus konflik agraria di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa konflik tanah merupakan masalah serius yang perlu segera ditangani.

"Dari beberapa kasus yang sudah masuk di Pak Mahfud saja 2.500 lebih, ini ada persoalan data yang disembunyikan oleh oknum birokrat misalnya, keterlibatan oknum aparat," kata Rieke di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Jakarta Pusat, Senin, 22 Januari 2024.

Kemudian, Rieke menekankan pentingnya keterbukaan data dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Menurutnya, tanpa data yang akurat, pemerintah tidak dapat menyusun kebijakan yang tepat dan efektif.

“Kebijakan pembangunan sebagus apapun, omong kosong kalau datanya tidak akurat, tidak aktual, tidak relevan. Termasuk, persoalan masyarakat hukum adat,” ucap Rieke.

Dalam mengatasi konflik agraria, kata Rieke, hanya sekadar putusan gugatan atau pencabutan izin saja tidak cukup. Diperlukan undang-undang sebagai aturan hukum tetap yang menjadi landasan.

"Jadi, permasalahannya adalah penegakan hukum itu penting," tutur Rieke.

Lebih lanjut, Rieke menyoroti masalah akurasi data yang digunakan oleh pemerintah. Ia mengatakan bahwa banyak data yang digunakan tidak akurat, bahkan fiktif karena minim pendataan.

"Salah satu kasus yang dicontohkan adalah data fiktif untuk penerima bantuan sosial (bansos) yang terkuak sekitar tahun 2021," ujarnya.

Berdasarkan data yang diketahuinya, diperkirakan ada 52 juta penerima bantuan sosial (bansos) fiktif di Indonesia. Hal ini tentu saja merugikan negara, karena setiap tahunnya pemerintah harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp120 triliun lebih untuk membiayai bansos tersebut.

Pewarta: Ridho Dwi Putranto
Editor: Redaktur TVRINews
Sumber: TVRI