Mardiono di Posko Pemenangan Teuku Umar Jakarta, Rabu, menyinggung langkah pembentukan opini publik tersebut pernah ada bukti gagal dilakukan di pemilu tahun 2014 dan 2019.
"Karena kita juga punya pengalaman mulai dari Pemilu 2014 sampai 2019, di mana ada pasangan (calon) yang melakukan sujud syukur dan syukuran, menyatakan kemenangannya dan kemudian pada akhirnya itu kalah," ungkap Mardiono.
Sehingga menurut Mardiono, jangan sampai hasil hitung cepat membuat rakyat yang sedang melakukan pesta demokrasi itu dicederai oleh kecemasan.
Baca juga: KPI apresiasi tayangan hitung cepat di lembaga penyiaran sesuai aturan
Baca juga: KedaiKOPI catat Prabowo-Gibran unggul hampir di seluruh provinsi
"Jadi biarlah pesta demokrasi dinikmati oleh rakyat secara natural, rakyat yang sedang berdaulat menggunakan senjata kekuasaan tiap sekali itu betul-betul bisa ia nikmati," tutur dia.
Mardiono menegaskan bahwa rakyat yang berdaulat untuk menjalankan demokrasi, dan tugas partai menghantarkan rakyat dengan hak kedaulatan.
"Selanjutnya, jikalau kemudian ada unsur pembentukan opini itu telah ter-desain sebuah kecurangan, misalnya, untuk melegitimasi desain-desain rencana kecurangan itu kemudian akan terlegitimasi dengan membangun opini-opini itu, kita juga tidak kalah penting untuk menyoroti dalam pelaksanaan pemilu ini ada mekanisme yang sesungguhnya transparan," ujar Mardiono.
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Chandra Hamdani Noor
Sumber: ANTARA
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber (ANTARA, RRI atau TVRI).