ANTARA

  • Beranda
  • Berita
  • PerDIK sebut pendataan difabel dalam pemilu 2024 bermasalah

PerDIK sebut pendataan difabel dalam pemilu 2024 bermasalah

23 Maret 2024 01:28 WIB
PerDIK sebut pendataan difabel dalam pemilu 2024 bermasalah
Ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) Sulawesi Selatan Nur Syarif Ramadhan (kanan) dalam acara Diskusi Publik Diseminasi Hasil Pemantauan Pemilu 2024. ANTARA/HO-Pusat Rehabilitasi YAKKUM.
Ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) Sulawesi Selatan Nur Syarif Ramadhan mengemukakan pendataan difabel dalam pemilu 2024 bermasalah.

"Saya sendiri di Makassar kemarin tidak terdata sebagai difabel, padahal saya difabel,” kata Syarif dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.

Hal itu disampaikan Syarif merujuk laporan temuan hasil pemantauan pemilu 2024 yang dirilis Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, Pusat Rehabilitasi Yakkum, dan Formasi Disabilitas, melalui dukungan Program INKLUSI (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Mewujudkan Masyarakat Inklusif).

Laporan pemantauan tersebut menunjukkan pelanggaran yang dialami pemilih difabel selama proses penyelenggaraan pemilu 2024. Hasil pemantau mencatat 45 persen tempat pemungutan suara (TPS) tidak memiliki informasi data pemilih difabel, sehingga berimplikasi pada pengabaian terhadap layanan, aksesibilitas, dan pendampingan yang dibutuhkan pemilih difabel.

Adapun pemantauan dilakukan dari periode kampanye hingga pencoblosan dan rekapitulasi penghitungan surat suara dengan melibatkan 218 relawan pemantau dari 20 provinsi. Para pemantau disebar ke 218 TPS di 42 kabupaten/kota dan 20 provinsi.

Berdasarkan laporan tersebut, Syarif menjelaskan penyediaan aksesibilitas dan pemahaman Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) terhadap pendampingan bagi difabel tidak berlandaskan data yang akurat.

Ia juga mengatakan bahwa kemungkinan besar tidak banyak petugas di TPS yang mengetahui keberadaan pemilih difabel, sehingga pelanggaran dapat dialami saat proses pemungutan suara berlangsung.

Selain masalah pendataan, ia menyebut kelayakan aksesibilitas bagi pemilih difabel di TPS juga masih jauh dari harapan.

Ia menjelaskan berdasarkan temuan terdapat sekitar 54 persen pemilih difabel fisik yang menggunakan kursi roda mengalami kesulitan saat memasukkan surat suara ke dalam kotak suara. Selain itu, sekitar 41 persen petugas KPPS tidak memberikan instruksi non-verbal saat memanggil pemilih difabel sensorik tuli.

Selanjutnya, kata dia, sekitar 84 persen TPS tidak menyediakan juru bahasa isyarat (JBI), dan sekitar 69 persen di antaranya tidak memberikan informasi tentang tata cara pemungutan dengan bahasa isyarat.

Sementara itu, ia mengatakan bahwa pemahaman petugas pemilihan terhadap alat bantu pencoblosan (template) bagi pemilih difabel sensorik netra juga masih belum merata.

Ia menyebut dari 27 persen TPS yang diamati terdapat sekitar 43 persen pemilih difabel netra yang menghadapi kesulitan saat memberikan hak pilihnya di bilik suara sering memerlukan bantuan orang lain.

Lebih lanjut, kata dia, sekitar 35 persen petugas KPPS tidak memberitahu pemilih difabel netra tentang ketersediaan template dan cara penggunaannya, sedangkan 33 persen template yang tersedia di TPS sulit digunakan oleh difabel netra.

Kemudian, kata dia, terdapat 45 TPS di 15 provinsi yang belum menyediakan formulir C3 di beberapa lokasi pemungutan suara.

“Padahal formulir C3 dibutuhkan untuk memastikan asas kerahasiaan bagi pemilih dan proses pendampingan bagi pemilih difabel,” ujarnya.

Berdasarkan hasil pemantauan itu, Syarif mengungkapkan terdapat tiga rekomendasi umum. Pertama, pengawas dan penyelenggara pemilu perlu mengeluarkan kebijakan afirmatif yang menekankan pentingnya inklusi difabel dalam seluruh tahapan pemilu, mulai dari partisipasi partai politik hingga pemilihan kepala daerah dan kepala negara.

Kedua, kata dia, diperlukan panduan kampanye yang memastikan keterlibatan aktif dan inklusi difabel serta kelompok rentan lainnya, termasuk akses yang memadai terhadap materi dan kegiatan kampanye.

Ketiga, lanjut dia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI harus memastikan penunjukan status dan jenis disabilitas pada daftar pemilih sementara (DPS) dan daftar pemilih tetap (DPT) di semua tingkatan, sehingga Petugas Pemungutan Suara (PPS) dapat memahami keberadaan difabel yang akan menggunakan hak pilihnya.

Syarif menjelaskan untuk rekomendasi khusus akan disampaikan secara lengkap kepada penyelenggara pemilu.

“Dengan langkah-langkah ini diharapkan proses demokrasi akan menjadi lebih inklusif dan mampu mewujudkan hak partisipasi yang setara bagi semua warga negara,” ungkap Syarif.

Pewarta: Rio Feisal
Editor: Laode Masrafi
Sumber: ANTARA