"MK seharusnya memperjuangkan keadilan substantif, sehingga tidak hanya sekadar mengadili hasil. Dengan begitu, dalam mengadili hasil, itu harus dimaknai pula sampai pada menelaah ke prosesnya," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan keadilan substantif adalah keadilan yang terkait dengan isi putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan pertimbangan rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (keyakinan hakim).
"Paling tidak keadilan substantif dan keadilan prosedural haruslah berjalan paralel," ujarnya.
Amstrong mengaku pesimis dengan hasil putusan MK untuk dapat mengabulkan gugatan Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud Tim yang diketuai oleh Todung Mulya Lubis dibantu Henry Yosodiningrat serta Timnas AMIN yang diketuai Ari Yusuf Amir dibantu Bambang Widjojanto dan Refly Harun.
Alasannya, pertama, secara limitatif UUD 1945 dipersepsikan secara matematis, sehingga MK hanya berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum, termasuk pemilihan presiden (pilpres) yaitu tidak kurang dan tidak lebih.
"Ranah MK hanya berhubungan dengan angka-angka," ujarnya.
Kedua, secara eksplisit Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah mengatur pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), merupakan ranahnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Ketiga, mengenai lamanya waktu 14 hari yang diberikan berdasarkan norma-norma tersebut, sangat tidak mungkin bagi MK untuk dapat memutuskan penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan adil hanya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
Menurut dia, hal itu tentunya membuat publik bertanya-tanya, apakah mungkin bisa dalam waktu yang pendek tersebut menghasilkan putusan yang sangat berkualitas.
Kata dia, putusan pengadilan merupakan imperium hukum sehingga hakim tidak boleh ceroboh dan serampangan dalam memutus suatu perkara.
"Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyebutkan MK mempunyai waktu maksimum 14 hari kerja untuk memeriksa sengketa Pilpres 2024 sebelum membacakan putusan," katanya.
Menurut dia, bagaimana bisa adu bukti jika konstitusinya saja dibatasi, rasanya tidak ekivalen, padahal, dalam ranah mengadili perselisihan hasil pemilu, MK ditempatkan sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution).
Baca juga: Presiden Jokowi enggan komentari sidang gugatan PHPU Pilpres
Baca juga: Menkopolhukam ingatkan semua pihak hargai proses politik yang ada
Pewarta: Fauzi
Editor: Budi Suyanto
Sumber: ANTARA
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber (ANTARA, RRI atau TVRI).