TVRINews, Jakarta
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menyebut adanya pelanggaran berat etik dalam pengambilan putusan MK nomor 90 soal intervensi Presiden dalam perubahan syarat pasangan calon tidak bisa dijadikan alat bukti yang kuat.
"Berkenaan dengan dalil pemohon a quo adanya putusan MKMK Nomor 2 tahun 2023 yang menyatakan adanya pelanggaran berat etik dalam pengambilan putusan MK Nomor 90 tidak serta merta menjadi bukti yang cukup untuk meyakinkan mahkamah bahwa telah terjadi tindakan nepotisme yang melahirkan abuse of power Presiden dalam perubahan syarat pasangan calon tersebut," kata Arief dalam sidang putusan soal sengketa pemilu 2024, Senin, 22 April 2024.
Lebih lanjut, Arief menyebut kesimpulan putusan MKMK Nomor 2 Tahun 2023 sendiri dikutip dalam putusan mahkamah Nomor 141 Tahun 2023, MKMK tidak berwenang membatalkan perlakuan putusan MK dalam konteks perselisihan hasil pemilu.
"Persoalan yang dapat didalilkan bukan lagi mengenai keabsahan atau konstitusionalitas, syarat, namun lebih tepat ditujukan pada keterpenuhan syarat dari pada pasangan calon peserta pemilu," ucapnya.
Dengan demikian, lanjut Arief, permasalahan dalam keterpenuhan syarat bagi Gibran Rakabuming Raka selaku Calon Wakil Presiden (Cawapres) disebut tidak tepat.
"Serta hasil verifikasi serta penetapan pasangan calon yang dilakukan oleh termohon telah sesuai dengan ketentuan," tuturnya.
Untuk diketahui, pasangan calon prsiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md meminta MK membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 yang menetapkan hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.
Keduanya juga meminta MK untuk menyatakan diskualifikasi pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pilpres 2024, serta memerintahkan KPU untuk melakukan pemungutan suara ulang tanpa kehadiran pasangan tersebut.
Baca Juga: Sidang Sengketa Pilpres 2024: MK Tegaskan Bukan Mahkamah Kalkulator
Pewarta: Intan Kusumawardani
Editor: Redaktur TVRINews
Sumber: TVRI