"Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip etis, seperti kejujuran dan keadilan yang dilakukan oleh pejabat publik seharusnya memiliki konsekuensi, meskipun tidak secara langsung melanggar hukum," kata Hukmi kepada ANTARA di Jakarta, Senin.
Hal itu disampaikan-nya menanggapi pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024, Jakarta, Senin, yang mengatakan dukungan (endorsement) Presiden terhadap pasangan calon tertentu bukan tindakan melanggar hukum, namun dapat menjadi dianggap bermasalah secara etik.
"Jika endorsement tersebut berkaitan dengan adanya relasi keluarga, konsekuensi paling mungkin adalah diskualifikasi terhadap pihak yang memiliki relasi tersebut. Dengan begitu, beban moral dalam dakwaan endorsement menjadi lemah," ujarnya.
Untuk itu, dia menilai diperlukan adanya peraturan perundangan sebagai produk hukum yang sedianya didasarkan pada nilai kebaikan bersama untuk merespons permasalahan etika.
"Setiap kebijakan publik atau peraturan yang akhirnya menjadi produk hukum selalu didasarkan pada asumsi nilai tertentu yang dianggap sebagai kebaikan bersama (common good)," katanya.
Sebelumnya, MK saat sidang pembacaan putusan PHPU Pilpres 2024 yang diajukan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Senin, menyatakan dukungan (endorsement) dari Presiden terhadap pasangan calon tertentu bukan tindakan melanggar hukum, namun dapat dianggap bermasalah secara etika.
"Dari sisi hukum positif mengenai pemilu, saat ini, pola 'komunikasi pemasaran' juru kampanye yang melekatkan citra dirinya kepada kandidat/paslon tertentu, bukanlah tindakan yang melanggar hukum. Namun, endorsement atau perlekatan citra diri demikian sebagai bagian dari teknik komunikasi persuasif, potensial menjadi masalah etika manakala dilakukan oleh seorang presiden yang notabene dirinya mewakili entitas negara, di mana seharusnya presiden bersangkutan berpikir, bersikap, dan bertindak netral," kata Hakim MK Ridwan Mansyur.
Baca juga: Istana: Presiden menghormati putusan MK terkait PHPU Pilpres 2024
Baca juga: Pemerintah segera siapkan transisi pemerintahan pasca-putusan MK
Dia mengatakan MK memandang mutlak diperlukan kerelaan presiden petahana untuk menahan/membatasi diri dari penampilan di muka umum yang dapat diasosiasikan/dipersepsikan oleh masyarakat sebagai dukungan bagi salah satu kandidat atau pasangan calon dalam pemilu.
"Kesediaan/kerelaan presiden yang demikian, serta kerelaan para petahana di level masing-masing yang menghadapi kemiripan situasi dengan kondisi pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2024 ini merupakan faktor utama bagi terjaga-nya serta meningkatnya kualitas demokrasi Indonesia," paparnya.
Meski demikian, Ridwan mengatakan perihal kerelaan tersebut merupakan ranah moralitas, etis, ataupun fatsun sehingga tidak bisa dikenakan sanksi hukum kecuali telah terlebih dahulu dikonstruksikan sebagai norma hukum larangan oleh pembentuk undang-undang.
"Mahkamah tidak menemukan landasan hukum untuk dilakukan tindakan terkait dengan ketidaknetralan Presiden yang mengakibatkan keuntungan bagi pihak terkait. Sekali lagu karena tolok ukur atau parameter ketidaknetralan Presiden dalam pemilu termasuk wilayah etik belum diatur tegas dalam peraturan perundang-undangan," kata dia.
Dia melanjutkan bahwa perubahan paradigma mengenai netralitas kekuasaan eksekutif demi mewujudkan pemilihan umum yang jujur dan adil harus dilakukan melalui perubahan atas undang-undang mengenai kepemiluan, sebagaimana telah disinggung dalam pertimbangan hukum sebelumnya.
MK memutuskan menolak seluruh permohonan yang diajukan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud Md dalam perkara PHPU Pilpres 2024.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Chandra Hamdani Noor
Sumber: ANTARA
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber (ANTARA, RRI atau TVRI).