Guru Besar Ilmu Pariwisata Universitas Udayana (Unud) Prof I Gde Pitana menekankan pelaksanaan World Water Forum Ke-10 di Bali mampu menjadi wadah untuk meningkatkan kesadaran terhadap kelestarian subak.
Subak merupakan sistem pengairan masyarakat Bali yang menyangkut hukum adat dan mempunyai ciri khas berupa sosial-pertanian-keagamaan dengan tekad dan semangat gotong royong dalam usaha memperoleh air dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan air dalam menghasilkan tanaman pangan terutama padi dan palawija.
“Kebetulan saya orang yang belajar di subak, sekaligus juga di bidang pariwisata. Maka saya sangat berharap bagaimana mengintegrasikan pariwisata dengan sistem subak di Bali agar keduanya itu betul-betul mendapatkan manfaat mutual supporting termasuk dalam penggunaan air,” kata I Gde Pitana kepada ANTARA di Kampus Udayana, Bali, Rabu.
I Gde Pitana menuturkan subak bukan hanya berfungsi dalam pertanian yang menghasilkan padi, melainkan juga salah satu cara hidup masyarakat Bali yang dipenuhi dengan nilai-nilai kearifan, nilai-nilai spiritual, dan juga implementasi dari ajaran agama di dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga: UNESCO sampaikan komitmen pertahankan subak sebagai warisan budaya
“Apalagi subak di Bali merupakan salah satu lembaga yang paling kuat dalam melaksanakan Tri Hita Karana (pandangan mengenai tiga unsur utama yang membentuk kehidupan),” ucapnya.
Mantan Deputi Menteri Bidang Pemasaran Kementerian Pariwasata itu mengatakan masyarakat Bali tidak hanya menganggap air sekadar untuk diminum, namun sumber kehidupan baik dari awal kehidupan, tengah, maupun akhir kehidupan atau disebut dengan Tirta Air Suci.
Lebih lanjut ia menilai pelaksanaan World Water Forum Ke-10 di Bali menjadi momentum yang tepat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia terutama masyarakat Bali bahwa ada masalah pada air yang selama ini menjadi bagian dari berbagai tradisi yang menyangkut pemuliaan air.
Menurut dia, jika tidak ada kesadaran, maka tidak akan ada inisiatif untuk melakukan manajemen pengelolaan air yang akan berdampak pada krisis air. Sehingga, World Water Forum bisa menjadi pengingat bahwa masyarakat perlu melakukan suatu hal untuk menjaga air.
Baca juga: Mendagri tekankan kontribusi Pemda dukung pengelolaan air di WWF
“Adanya World Water Forum Ke-10 ini bagi saya mempunyai manfaat luar biasa dari segi kesadaran karena apapun program yang kita lakukan harus mulai dengan awareness bahwa we really need something to do,” tutur dia.
Adapun Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) bersama Pemerintah Indonesia berkomitmen merawat dan mempertahankan kelestarian subak sebagai bagian dari warisan budaya dunia.
“Salah satu upayanya, yakni melakukan advokasi perlindungan warisan budaya terkait dengan air demi mengatasi tantangan permasalahan air pada abad ke-21, semuanya sangat terkait erat dalam konteks subak,” kata Wakil Direktur Jenderal UNESCO Xing Qu di Badung, Bali, Rabu.
Baca juga: Menteri ATR: Badan khusus air penting dalam integrasikan manajemen air
Sistem irigasi subak telah ada sejak ribuan tahun silam dan bertahan sampai kini karena dijaga secara turun temurun. Pada 29 Juni 2012 UNESCO pun menetapkan bahwa subak sebagai warisan budaya dunia dan hingga saat ini tetap konsisten berkomitmen mempertahankannya.
Sumber: ANTARA