World Water Development Report di 2023 mencatat peningkatan bencana banjir sebesar 134 persen dalam tiga tahun terakhir, sedangkan kekeringan meningkat 29 persen dalam kurun yang sama.
WWF mengemas materi mitigasi banjir dan kekeringan dalam tujuh tema diskusi secara maraton pada 18--24 Mei 2024 di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) dan Bali International Convention Center (BICC).
Pada Senin (20/5), diskusi panel bertajuk "Partisipasi Berbasis Masyarakat: Menggabungkan Teknologi dan Pendekatan Inovatif dengan Kearifan Lokal" mengungkap bahwa partisipasi masyarakat jadi komponen penentu keberhasilan dari sistem peringatan dini bencana.
Sistem itu kian marak diinvestasikan negara anggota WWF, bahkan, dunia pada umumnya masih bergantung pada penerapan teknologi mutakhir.
Organisasi Meteorologi Dunia atau WMO menyerukan setiap negara memulai pembelian nasional dan memiliki pembiayaan untuk The Early Warnings for All Initiative (EW4AII).
EW4AII merupakan inisiatif dari WMO untuk memastikan perlindungan universal dari cuaca, air atau peristiwa iklim yang berbahaya melalui sistem peringatan dini yang menyelamatkan jiwa pada akhir 2027.
WMO menyadari bahwa pembelian untuk peringatan dini memang menjadi tantangan besar untuk diterapkan, sehingga perlu kolaborasi setiap negara untuk mewujudkannya.
Teknologi tentunya bukanlah solusi tunggal untuk menekan jumlah korban bencana, bila penerapannya tidak dilengkapi aspek sosial, khususnya komunitas.
Contohnya, pada investasi teknologi pendeteksi tsunami yang kini mengalami lompatan besar, seperti Bouy Tsunami yang dimiliki Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Alat itu mampu mendeteksi potensi gelombang tsunami dalam beberapa menit setelah terjadi gempa berkat teknologi Ocean Bottom Unit (OBU) yang diletakkan di dasar laut.
Kemampuan itu memungkinkan operator untuk mengirim sinyal peringatan dini secara aktual kepada pemerintah daerah untuk diteruskan kepada masyarakat di lokasi terdampak.
Namun, pola komunikasi itu tak bisa berjalan optimal manakala pesan yang disampaikan tidak memperoleh respons dari masyarakat setempat.
Peran komunitas
Secara geografis, Indonesia berada di wilayah tropis dengan curah hujan tinggi berkisar 1.000 hingga 4.000 milimeter per tahun. Curah hujan yang tinggi membuat Indonesia rentan akan banjir serta longsor.
Curah hujan yang tinggi disebabkan wilayah Indonesia berada di lintasan garis khatulistiwa. Dilansir dari NASA Global Precipitation Measurement, daerah khatulistiwa menerima sebagian besar energi Matahari langsung yang menyebabkan lebih banyak penguapan.
Bencana banjir masih menjadi potret suram masyarakat perkotaan di Indonesia yang dipicu sederet faktor alam, selain curah hujan ekstrem, tak sedikit saluran pembuangan air, seperti sungai, kanal, drainase di perkotaan yang tidak bisa menampung air, letak daratan yang relatif rendah, hingga faktor erosi dan sedimentasi.
Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) menghadirkan Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi-Cikeas (KP2C), Puarman, pada diskusi panel bertajuk "Pengurangan dan Manajemen Risiko Bencana" di WWF Bali sebagai percontohan mitigasi banjir berbasis komunitas.
Sejak dibentuk pada 2005, KP2C telah menggaet 32 ribu member by name by address yang seluruhnya berstatus sebagai korban banjir di tiga daerah aliran sungai (DAS).
DAS itu terbagi atas Sungai Cileungsi yang membelah daratan dari Kabupaten Bogor hingga perbatasan Kota Bekasi, Jawa Barat, sepanjang 37 kilometer, mengalir dari Gunung Pancar, Kabupaten Bogor.
Berikutnya, DAS Cikeas yang membentang sepanjang 46 kilometer, mengalir dari Gunung Geulis, Kabupaten Bogor, dan berakhir di DAS yang terletak di Kota Bekasi.
DAS Cileungsi dan Cikeas bertemu menjadi DAS Bekasi, kerap menimbulkan bencana bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hilir sungai. Bencana banjir terus menghantui mereka, setiap kali hujan deras mengguyur hulu sungai.
Tanpa sistem peringatan dini, banjir mendadak yang tak terhitung titiknya mengancam rumah-rumah penduduk.
Puarman menyebut jumlah anggota yang terkumpul dari 30 perumahan didasari oleh kesamaan nasib sebagai korban banjir dan dorongan akan kebutuhan hidup yang tenang.
Mereka adalah masyarakat yang berasal dari Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi. Beberapa di antaranya juga merupakan pejabat daerah terkait dan berbagai organisasi yang saling berkolaborasi memitigasi bencana banjir.
Target dari KP2C adalah memastikan masyarakat tidak terdampak kerugian akibat banjir dengan meneruskan informasi aktual mengenai ketinggian air dari petugas pantau di hulu. 6 jam sebelum banjir tiba di perumahan warga, masyarakat sudah mempersiapkan diri, bahkan menyelamatkan harta bendanya.
Sistem kerja
KP2C dilengkapi CCTV sebagai alat pengamat ketinggian air yang dipasang di tujuh titik pemantauan, yaitu di hulu DAS Cileungsi (Cibongas, Cileungsi, dan Sukamakmur), di hulu DAS Cikeas (Cibinong dan Cikeas), dan di bagian hulu DAS Bekasi (perbatasan Kabupaten Bogor dan Kota Bekasi).
Hasil pemantauan real time dari CCTV melalui telepon seluler pintar penyelenggara KP2C diteruskan ke anggota KP2C di grup WhatsApp, Telegram, dan media sosial KP2C.
Dalam kondisi normal, sosialisasi ketinggian air akan dilakukan oleh penyelenggara KP2C pada pagi dan sore hari. Apabila terjadi hujan deras dan ketinggian air di hulu sungai naik, maka informasi ketinggian air akan diteruskan kepada anggota setiap 15 menit untuk disebarluaskan kepada masyarakat yang berpotensi terdampak banjir.
Operasional kerja sistem peringatan dini itu didanai melalui donasi bulanan secara rutin yang dihimpun KP2C untuk membiayai pengeluaran bulanan, seperti
honor rutin bulanan lima petugas pemantau tinggi muka air (TMA) di Sungai Cileungsi, Cikeas, Cibongas, Kali Bekasi dan Cibinong.
Biaya rutin bulanan juga dikumpulkan dari para anggota untuk keperluan komunikasi lima petugas pemantau, berupa pulsa telepon, biaya rutin pemeliharaan enam unit CCTV, biaya rutin pulsa paket data enam unit CCTV, biaya operasional lainnya untuk mendukung kelancaran kegiatan pemantauan TMA dan mitigasi bencana.
Kiprah komunitas dan teknologi menjadi satu kesatuan ekosistem komunikasi yang tak terbantahkan dalam memitigasi petaka bencana yang bisa saja memicu kerugian materi, bahkan korban jiwa.
WWF Ke-10 di Bali telah merangkum hal itu sebagai etape baru bagi masyarakat global dalam memitigasi bencana yang lebih tangguh melalui pelibatan komponen teknologi dan peran aktif masyarakat di akar rumput.
Sumber: ANTARA
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber (ANTARA, RRI atau TVRI).