ANTARA

  • Beranda
  • Berita
  • Berbagi praktik baik rekayasa air dalam ajang World Water Forum Bali

Berbagi praktik baik rekayasa air dalam ajang World Water Forum Bali

24 Mei 2024 06:31 WIB
Berbagi praktik baik rekayasa air dalam ajang World Water Forum Bali
Beberapa wisatawan mancanegara berwisata ke sawah dengan sistem pengairan Subak di Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali, Selasa (22/5).(FOTO ANTARA/Nyoman Budhiana)
Pertemuan internasional terbesar yang membahas tentang isu-isu air secara global World Water Forum diselenggarakan di Bali pada 18-25 Mei 2024. Pertemuan ini di antaranya membahas sekaligus merumuskan kebijakan tata kelola air dan sanitasi dunia. 

Forum Air Dunia yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali antara Dewan Air Dunia dan negara tuan rumah itu mempertemukan seluruh pemangku kepentingan dari berbagai latar belakang geografis dan sektoral untuk berdiskusi secara terbuka, termasuk berbagi praktik baik dari berbagai negara. 

Kota Chennai di India mencatatkan kisah suksesnya dalam merekayasa air melalui proyek City of 1000 Tanks.

Proyek tersebut menyajikan solusi holistik bagi problem menyangkut air seperti banjir, kelangkaan air dan polusi, sekaligus mengidentifikasi penyebab berbagai persoalan air di wilayah itu.

Kota 1.000 Tangki itu mengembangkan Model Keseimbangan Air di seluruh wilayahnya dengan mengumpulkan air hujan, mengolah air limbah dan polusi limpasan dengan Solusi Berbasis Alam (NBS) yang terdesentralisasi, dan dengan mengisi ulang keduanya ke akuifer bawah tanah.

Upaya itu ternyata mampu mencegah kekeringan yang disebabkan oleh perubahan iklim dengan meningkatkan cadangan air tanah sekaligus mengantisipasi dengan efektif terjadinya intrusi garam akibat kenaikan muka air laut.

Pada saat yang sama, langkah ini juga mengurangi risiko banjir yang awalnya kerap terjadi serta menurunkan polusi limbah.

Proyek ini bertujuan untuk memperbaiki masalah pasokan air dengan menciptakan retensi air dengan kemampuan pasokan mencapai 200-250 MLD (Juta Liter per Hari) dalam dua tahap (dari permintaan perkotaan saat ini sebesar 1.580 MLD).

Semula Chennai merupakan wilayah dengan risiko kehabisan air dalam 10 tahun mendatang, mengingat perkiraan peningkatan populasi dan menipisnya permukaan air. Namun melalui proyek yang mengandalkan Solusi Berbasis Alam itu masalah pasokan air, limbah, dan banjir terpecahkan secara holistik.

Kisah sukses di Chennai, India, itu disampaikan oleh Eva Plannes dalam salah satu sesi di World Water Forum ke-10 Bali.

Pembicara yang juga seorang arsitek dan peneliti dari Belanda ini menyebutkan proyek City of 1000 Tanks di wilayah berpenduduk 7,1 juta orang itu menggunakan rekayasa sirkulasi air untuk mencegah kekeringan dan banjir akibat curah hujan.

Konsep keseimbangan air (water balance) menjadi model rekayasa agar air bisa disirkulasi secara berkesinambungan dan sesuai dengan kebutuhan penduduk.

Rekayasa yang menggunakan Decentralised Nature-Based Solutions (NBS) itu memetakan pertemuan titik-titik air alami dengan lubang air berjaringan. Air kemudian akan disalurkan atau ditampung dengan pemantauan secara daring.

Inspirasinya datang dari sistem Irigasi di pura Hindu yang mengatur saat air melimpah dan saat kekurangan air, kata Eva yang terlibat dalam proyek kerja sama dengan pemerintah lokal dan Kerajaan Belanda.

Inspirasi Chennai menjadi salah satu oleh-oleh yang berharga dari World Water Forum untuk bisa memitigasi bencana hidrologi.


Rekayasa air

Lain di Chennai lain pula Hyderabad, yang juga merupakan salah satu kota di India.

Prof. V. Srinivas Chary, yakni Professor & Director, Centre for Management of Land Acquisition, Resettlement & Rehabilitation (CMLARR), Administrative Staff College of India (ASCI), Hyderabad, dalam World Water Forum ke-10 di Bali menjelaskan, Kota Hyderabad di India mulai menerapkan konsep bangunan gedung yang ramah lingkungan melalui pemakaian air daur ulang.

Air yang telah digunakan atau bahkan air kotor akan diolah dengan teknologi pemurnian dan kemudian ditampung bersama air hujan serta sumber lainnya.

Menurut Chary, teknologi daur ulang air bersih dihitung berdasarkan kapasitas penghuni atau penggunaan seperti pabrik.

Dengan demikian, solusi pemenuhan kebutuhan air tidak selalu mengandalkan penyediaan air bersih yang baru dari alam.

Bangunan lama harus dipasang Onsite Wastewater Treatment System (OWTS) yang disesuaikan dengan kapasitas penghuni.

Konsep rekayasa air itu memungkinkan masyarakat Kota Hyderabad lebih mudah mendapatkan pasokan air bersih sesuai kebutuhan mereka.

Sementara di Belgia, upaya penggunaan kembali air hasil daur ulang telah diimplementasikan di sejumlah kota kecil dengan menyesuaikan kondisi alam setempat.

Inge Genne dari VITO, organisasi air di Belgia menyampaikan keberhasilan di Taman Bisnis Tielt Noord yang merekayasa sirkulasi air dengan sistem terpadu pendaurulangan untuk pertanian.

Penerapan sistem ini didukung oleh para petani lokal karena tidak mempengaruhi hasil panen untuk ekspor.

Dalam forum yang sama, Indonesia sebagai tuan rumah juga turut memperkenalkan subak, sistem irigasi yang diwariskan turun-temurun sebagai kearifan masyarakat lokal Bali dalam mengatur pergiliran dan pembagian air dan peraturan pola tanam. Tidak ditetapkan secara individual oleh tetua, pengaturan pembagian air dalam Subak merupakan hasil musyawarah masyarakat.

Musyawarah ini didasarkan pada falsafah Tri Hita Karana dalam agama Hindu yang meliputi keharmonisan hubungan manusia dengan Pencipta (Parahyangan), hubungan manusia dengan alam sekitar (Palemahan) dan hubungan manusia dengan manusia (Pawongan).

Pengaturan perlu dilakukan agar semua masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan air bersih sesuai dengan cara dan tempat yang telah disepakati bersama.

Ada dua cara dalam pengaturan subak, seperti wilayah subak yang dibagi menjadi dua kelompok sesuai musim dan cara dibagi melalui pola tanam pertanian.

Subak diperkenalkan dalam diskusi WWF ke-10 di Bali oleh Pengelola Pura Ulun Danau Batur dan juga pengajar di Universitas Udayana, I Ketut Eriadi Ariana.


Praktik baik

Berbagai praktik baik yang disampaikan dalam momentum World Water Forum itu diharapkan bisa memitigasi bencana hidrologi. Memang benar bahwa air merupakan sumber kehidupan, namun terlalu banyak (too much)  atau terlalu sedikit (too little water) akan menimbulkan masalah.

Semua tahu bahwa sebagian besar permukaan bumi terdiri atas air, namun bencana terkait air seperti banjir dan kekeringan dewasa ini masih menjadi ancaman dan kerap terjadi di lokasi yang sama.

Akibatnya, banyak jiwa terancam dan aktivitas ekonomi lumpuh. Untuk itu, upaya rekayasa siklus air menjadi hal penting dalam mitigasi dan penanggulangan bencana hidrologi.

Hal tersebut memang kemudian sempat menjadi pembahasan menarik dalam World Water Forum ke-10 pada sesi rekayasa pemakaian air bertema Implementing Circular Water and Resources Management for Food Security and Resilient Cities di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Bali, Selasa (22/5/2024).

Sejumlah pembicara menyampaikan langkah nyata penerapan rekayasa sirkulasi air bagi masyarakat.

Pada akhirnya forum ini pun patut diapresiasi karena mengajak masyarakat di seluruh penjuru dunia untuk menjeda sebentar fokus perhatiannya dan berpaling pada hal yang paling penting bagi kehidupan namun kerap terlupakan, apalagi kalau bukan air.

Kini saatnya menjaga keberlanjutan air untuk kesejahteraan seluruh umat manusia.
 


Sumber: ANTARA