ANTARA

  • Beranda
  • Berita
  • Binaragawati: Dekonstruksi kemolekan perempuan 

Binaragawati: Dekonstruksi kemolekan perempuan 

15 September 2024 10:56 WIB
Binaragawati: Dekonstruksi kemolekan perempuan 
Atlet binaraga Kalimantan Timur Rum Ningsih berpose dalam eksibisi Women Model Physique pada PON Aceh-Sumut XXI 2024 di Medan, Sumatra Utara, Selasa (10/9/2024). ANTARA FOTO/Jessica Wuysang/rwa.
Medan (ANTARA) - "Menjadi cantik bukan hanya memiliki tubuh yang langsing semampai. Berotot adalah bagian dari kecantikan itu sendiri".

Demikian kata Rum Ningsih, binaragawati asal Kalimantan Timur yang mengikuti eksibisi cabang olahraga binaraga pada penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumatera Utara.

Rum mencoba melawan batas-batas kultus kecantikan. Tren kecantikan modern mematok pada tubuh tinggi langsung, memiliki bokong dan dada yang padat berisi, berkulit putih, berhidung mancung, pipi tirus, dan sebagainya.

Kontruksi tersebut telah terbangun dalam sistem sosial masyarakat. Diakui atau tidak, tubuh yang ditampilkan oleh perempuan merupakan keinginan yang dilihat oleh kaum laki-laki.

Tak luput dalam ingatan saat Disney menunjuk Halle Bailey untuk memerankan karakter Ariel dalam film remake live-action "The Little Mermaid". Disney mendapat nyinyiran dari warganet karena Halle dianggap tidak mewakili cerita awal dari film animasi tersebut.

Halle yang berkulit hitam dianggap tidak merepresentasikan tokoh Ariel yang mereka kenal berkulit putih dengan rambut merah. Namun, Disney mulai memprioritaskan untuk mengambil aktor dari berbagai identitas serta menghapus paradigma yang tak lagi mewakili prinsip perusahaan.

Wacana kecantikan akan terus menerus diusahakan untuk didefinisikan ulang tentang apa itu yang disebut keidealan. Standar kecantikan digembar-gemborkan lewat media baik media daring atau media luring dan dikemas dalam iklan-iklan produk kecantikan.

Pendiri Rumah Filsafat Reza A. A. Wattimena mencoba menerjemahkan pemikiran Filsuf Prancis Jacques Derrida perihal Dekontruksi.

Dalam artikel Reza, Derrida mengatakan kebenaran selalu terkait dengan proses dekonstruksi. Kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak dan tetap, melainkan bergerak sejalan dengan perubahan itu sendiri.

Dekonstruksi yang ditawarkan Derrida hendak mengkritik tradisi logosentrisme yang menekankan kepastian keberadaan dari simbol dan bahasa yang digunakan dalam kerangka berpikir.

Derrida berpendapat bahwa logosentrisme itu salah kaprah. Simbol dan bahasa adalah suatu sistem mandiri yang terbangun dalam pikiran komunikasi.

Dekonstruksi adalah metode yang digunakan Derrida untuk menekankan bahwa bahasa dan simbol tidak pernah bisa mewakili kenyataan yang ada. Keduanya bersifat ambigu dan tidak pasti.

Begitu pula dengan standar kecantikan yang mesti didekontruksi ulang sebagai pemahaman yang ambigu dan tidak pasti sebagai definisi tetap. Cantik adalah simbol semata dan mitos kecantikan merupakan penentu perilaku bukan penampilan.

Baca juga: Kaltim juara umum binaraga, Jakarta cetak sejarah
Baca juga: Empat atlet binaraga Indonesia dinyatakan melanggar aturan anti-doping

Halaman berikut: PON dan Binaragawati

PON dan Binaragawati

Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI di Aceh dan Sumatera Utara menuai berbagai kejutan, khususnya pada cabang olahraga binaraga. Perempuan mulai mendapat tempat untuk ikut andil dalam kontes unjuk "maskulinitas" tersebut.

Kontes binaraga bagi perempuan dalam ajang multi cabang seperti PON ini menjadi kali pertama yang diselenggarakan di Indonesia, meski di berbagai belahan dunia lainnya sudah menjadi hal biasa.

Tentu ini menjadi satu langkah maju yang patut dirayakan, mengingat perempuan yang dalam konstruksi sosial masyarakat harus berlaku lemah lembut, baik secara penampilan maupun kelakuan. Kini punya celah untuk keluar dari stereotipe itu.

Diamini atau tidak, Persatuan Binaraga dan Fitnes Indonesia (PBFI) mencoba melawan sesuatu yang dianggap tabu. Perempuan mulai mendapat tempatnya dalam merekontruksi ulang bab kecantikan dan keseksian.

Rum Ningsih bersyukur binaraga kelas perempuan dapat dipertandingkan dalam PON XXI. Memang selama ini, kontes binaraga perempuan di Indonesia masih tergolong minim apabila dibandingkan dengan binaraga untuk laki-laki.

Tetapi setidaknya PON telah memberikan ruang bagi perempuan untuk menembus batas-batas yang selama ini menjadi tembok kokoh.

Pada penyelenggaraan PON XXI, binaraga memperlombakan kelas Women Model yang diikuti enam binaragawati. Keenam binaragawati tersebut yakni Ervina Sundalagi (Sulawesi Utara), Rum Ningsih (Kalimantan Timur), Sheilla Zaein Vad Aq (Sumatera Utara), Sindi Arina (Sumut), Firma (Jawa Timur), dan Nuraini Lukita Martin (Jateng).

Kelas Women Model masih sekelas eksibisi. Artinya, meski ada pengalungan medali tetapi tidak masuk dalam tabulasi klasemen perolehan resmi PON.

Rum mengatakan binaraga bagi perempuan tak sebatas membentuk massa otot semata, tapi juga menjaga pola hidup sehat. Yang patut digarisbawahi menurut Rum, otot bagi perempuan juga penting sebagai aset diri di masa tua.

Sebenarnya angkat besi juga masuk dalam kluster binaraga. Angkat besi bagi perempuan jauh-jauh hari telah mendapat tempat di masyarakat. Sebut saja Nurul Akmal yang saat ini tengah menjadi ikon dari angkat besi. Sementara nasib kontes binaraga jauh berbeda.

Namun, menariknya binaragawati Indonesia justru malah berprestasi di luar negeri. Atlet Indonesia kerap mengharumkan nama bangsa, meski sorak-sorainya tidak terlalu terdengar di Tanah Air.

Nilawaty Law yang ikut dalam kejuaraan dunia binaraga dan Fitnes Asia 2022 di Moldova pada 2022 lalu sukses menyumbangkan medali emas di kelas Women's Physique Model.

Begitu juga dengan Tasya Angkouw, Sherley Walakandow, dan Imelda Takasowa yang mengikuti kejuaraan WFF PRO-AM Asia Pacific Championships 2024 di Manila, Filipina pada 31 Agustus hingga 1 September 2024.

Baca juga: Tiga atlet binaraga putri ikuti Kejuaraan Asia Pasifik di Manila

Pada pertandingan tersebut, Tasya berhasil meraih posisi keempat di kategori Ms. Glamour. Sementara itu, Sherley juga menyelesaikan kompetisi di posisi keempat dalam kategori model bikini. Pencapaian yang paling membanggakan datang dari Imelda, yang mencatatkan diri di posisi kedua di Divisi Sports Model Overall Pro.

Atau jika kita tarik lebih jauh, tepatnya pada 2016, Monica Sinatra berhasil meraih gelar juara pada kompetisi NBBA/WFF di Singapura.

Sebetulnya, binaragawati Indonesia sudah malang-melintang di even internasional. Hanya saja untuk di Indonesia masih sangat jarang dan kalaupun ada selalu luput dari pemberitaan.

Rum Ningsih dan juga atlet lain berharap agar binaraga kelas wanita dapat dipertandingkan secara resmi dalam PON mendatang. Eksibisi pada PON kali ini menjadi jembatan masa depan binaraga perempuan di Indonesia.


Baca juga: PBFI harap binaraga perempuan bisa masuk PON

Halaman berikut: Konflik Kultural

Konflik Kultural

Perempuan sejak lama kerap dilekatkan pada aktivitas domestik semata. Perempuan selalu dikonotasikan sebagai manusia pekerja domestik yang dinilai tidak dapat berkontribusi secara aktif di luar rumah.

Di Indonesia yang selalu dikait-kaitkan dengan budaya ketimuran, melihat perempuan berotot dan kontes dengan pakaian seksi pasti akan dicap jauh dari nilai-nilai norma kesopanan.

sebagai contoh saat ajang Miss Universe 2021. Putri Indonesia Ayu Maulida yang saat itu memakai bikini mendapat kecaman dari masyarakat. Namun tak sedikit pula yang memujinya.

Bahkan di media sosial hal tersebut seolah menjadi perdebatan yang tak kunjung usai saat itu. Lagi-lagi norma sosial dan adat ketimuran menjadi alasan dari kecaman tersebut. Perempuan dianggap harus santun dan tak menampilkan sisi-sisi keseksian.

Lalu bagaimana di binaraga? Karena yang dinilai adalah massa otot maka mau tak mau atlet harus menggunakan pakaian yang memudahkan para juri untuk menilainya.

Namun hal itu bukan masalah juga. Kita bisa berkaca pada Khloud Essam asal Mesir yang menjadi atlet binaraga perempuan pertama di negeri Pharaoh.

Atau Fathia Al-Amamy dari Libya serta Majizita Bhanu asal India. Ketiganya mampu berprestasi dengan tetap mempertahankan norma yang mereka yakini.

Rum Ningsih beserta binaragawati lainnya mencoba merombak citra yang keliru tentang feminitas dan kekuatan. Mereka ingin membuktikan bahwa perempuan dapat menjadi kuat secara fisik tanpa kehilangan identitas atau nilai-nilai feminim.

Apa yang mereka lakukan juga seolah menunjukkan bahwa kekuatan bukanlah domain eksklusif laki-laki, tetapi hak yang setara bagi semua individu.


Baca juga: Binaraga tidak sesederhana dibayangkan awam
Baca juga: Akhir penantian dua dekade binaraga DKI Jakarta

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Dadan Ramdani
Sumber: ANTARA