Salah satu tempat bersejarah yang perlu dirawat lebih baik lagi sehingga bisa seindah dulu adalah Istana Maimun di Medan, Sumatera Utara.
Keindahan dan keasrian situs bersejarah ini terus berkurang, jika dibandingkan dengan keadaannya di masa silam.
Foto yang diambil dari menara Masjid Raya Al-Mahsun pada 1931 menjelaskan kontras itu.
Pada foto 91 tahun silam itu, Istana Maimun terlihat anggun nan agung dengan latar depan jalan setengah lingkaran yang di tengahnya membentuk bundaran yang dikitari pepohonan.
Desain eksteriornya bak Istana Versailles di Prancis atau Taj Mahal di India, yang sejak lama sudah menjadi properti nasional Prancis dan India.
Status properti nasional itu memudahkan pemerintah kedua negara merawatnya dengan sebaik-baiknya.
Kedua negara itu merawatnya baik-baik karena situs-situs bersejarah itu adalah warisan bangsa yang memberi petunjuk tentang masa lalu bangsa itu dan bagaimana masyarakatnya berevolusi sampai dalam bentuknya saat ini.
Dengan kata lain, tempat-tempat itu adalah tentang identitas nasional yang membentuk sebuah bangsa dan negara.
Karena terus dirawat, kedua bangunan itu abadi indah, yang membuatnya terus dikunjungi masyarakat, sehingga identitas bersama itu pun tak terlupakan dari generasi ke generasi.
Istana Maimun pun seharusnya begitu. Memang tetap dikunjungi masyarakat, tapi daya tariknya bisa semakin menurun jika tak dirawat sebaik Prancis dan India merawat Istana Versailles dan Taj Mahal.
Sabtu pekan lalu ANTARA mengunjungi istana itu. Tak bisa dipungkiri lagi tempat ini sungguh eksotis, tapi hal-hal memprihatinkan terungkap ketika semakin dekat mengenali istana itu.
Bukan saja dari eksterior, tetapi juga dari interior. Jelas terlihat situs bersejarah yang turut menjadi jejak bangsa Indonesia ini membutuhkan perawatan lebih.
Rumput depan Istana yang di masa jayanya tertata rapi sehingga mempesona semua orang, kini tak terawat dengan baik.
Baca juga: Istana Maimun tempat favorit warga Medan untuk ngabuburit
Halaman berikut: Identitas dan akar bersama
Kala hujan turun, tercipta genangan-genangan kecil di antara reremputan itu.
Bahkan sebuah jalan di sisi kanan istana itu dinodai oleh kubangan-kubangan air, yang semestinya tak ada di tempat seeksotis dan sebersejarah ini.
Estetika keseluruhan istana yang dibangun oleh Sultan Ma'mun Al Rashid Perkasa Alamsyah pada 1887–1891 dengan arsitek Theodoor van Erp dari Belanda itu terganggu, jika tidak disebut rusak.
Interiornya pun begitu. Sebagian orisinalitas memudar sehingga mengurangi nilai dan ketinggian peradaban yang menjadi konten utama dari istana ini.
Para pedagang memenuhi ruang inti istana yang semestinya steril dari siapa pun, kecuali pengunjung.
Padahal dengan nilai sejarah yang begitu tinggi, Istana Maimun seharusnya ditata dengan lebih baik sehingga daya tariknya semakin tinggi lagi.
Keluarga Sultan Deli dan para ahli waris membuka seluas mungkin istana ini untuk masyarakat, tapi menjadikan istana ini tetap indah sehingga orang nyaman merenungkan kebesaran sejarah bangsanya, seharusnya tetap menjadi kepedulian.
Itu semua penting demi menunjukkan kepedulian bangsa ini terhadap warisan dan jejak bangsa yang tak saja membentuk peradaban bangsa ini, tapi juga turut menciptakan ikatan bersama yang melahirkan Indonesia.
Kita sudah terlalu sering mengabaikan hal-hal esensial di bali peninggalan-peninggalan di masa lalu, yang mestinya dirawat baik-baik agar bangsa ini tetap memiliki akar dan identitas bersama.
Jepang, China, dan Eropa, justru lain. Mereka intensif merawat peninggalan-peninggalan bersejarah, tidak melulu untuk tujuan pariwisata dan ekonomi, tapi lebih penting lagi tentang jati diri bangsa.
Mereka adalah bangsa-bangsa modern yang merangkul erat teknologi dan dominan mendefinisikan peradaban global, tapi mereka tak pernah melupakan jejak dan akar sejarahnya.
Mereka tak akan pernah sudi menukar jejak bersejarah bangsanya hanya demi mengejar ketertinggalan pembangunan fisik dari negara lain.
Bahkan negara seperti Lithuania yang menjadi korban kebrutalan Nazi Jerman pada Perang Dunia Kedua dan dinas rahasia KGB selama Perang Dingin, merawat penjara dan kamp penyiksaan peninggalan Nazi dan KGB.
Museum itu mengingatkan generasi kini tentang masa gelap Lithuania pada 1940-1991, sehingga rakyatnya selalu mengenangnya agar abadi terikat dalam kebersamaan dan menghindari hal buruk serupa di kemudian hari.
Baca juga: Ketua DPD dukung Pemrov Sumut jaga kelestarian kebudayaan Melayu Deli
Perlu tangan profesional
Perlu tangan profesional
Itulah esensi yang kadang hilang di negeri ini, sehingga situs-situs sejarah maha penting seperti Istana Maimun terabaikan.
Mungkin perlu tangan-tangan profesional untuk merawat situs-situs bersejarah sarat nilai dan peradaban seperti Istana Maimun, sehingga terkelola dengan baik yang membuat orang nyaman menikmatinya dan lalu meresapi keagungan bangsanya.
Sebenarnya banyak kalangan yang berusaha memperindah lagi Istana Maimun agar seindah di masa lalunya.
Salah satunya Wali Kota Medan Bobby Nasution yang ingin merevitalisasi Istana Maimun.
Istana Maimun adalah satu dari empat tempat yang ingin direvitalisasi oleh Pemerintah Kota Medan. Tiga lainnya adalah Taman Sri Deli, Masjid Raya Al Mashun, dan Rumah Tjong A Fie.
Sultan Deli Mahmud Aria Lamantjiji Perkasa Alam menyadari revitalisasi itu, tapi dia menghadapi apa yang disebutnya masalah internal dakal keluarga dan ahli waris istana itu.
Bobby mengaku sudah sejak 2019 menyiapkan anggaran untuk revitalisasi Istana Maimun, tapi mengingat orang-orang istana itu tidak sepakat, revitalisasi itu tersendat sampai kini.
Masyarakat sendiri menginginkan istana ini dibuat semegah dan asri seperti dulu, sehingga generasi masa kini mendapatkan perspektif utuh tentang bangsanya.
"Kami membawa murid-murid kami ke Istana Maimun untuk mengenali secara dini sejarah dan peradaban bangsa kita," kata David Afrizal, guru sebuah SD di Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Tekad orang-orang seperti David Afrizal harus didukung oleh semua pihak, dengan menjadikan situs-situs bersejarah terawat.
Jangan biarkan generasi mendatang kehilangan jejak bangsanya dan kemudian kehilangan jati diri yang justru penting bagi negara majemuk yang membutuhkan ikatan nasional seperti Indonesia.
Revitalisasi Istana Maimun dan situs-situs bersejarah lainnya di negeri ini, bahkan sudah merupakan hal mendesak untuk dilakukan karena ada gejala pada era ini orang dengan mudah membelokkan sejarah.
Celakanya, pembelokan sejarah itu tidak didasarkan kepada ilmu pengetahuan dan metodologi sejarah, tapi melulu bersandar kepada spekulasi dan klaim sepihak dari orang-orang yang tak memiliki kompetensi merekonstruksi sejarah bangsa ini.
Tak ada pilihan, pemerintah dan masyarakat, tidak hanya di Medan dan Sumatera Utara, harus aktif merawat peninggalan dan jejak sejarah bangsa, kalau tidak ingin melihat jati diri bangsa hilang karena pembiaran, ketidaktahuan dan ketidakpedulian.
Baca juga: LaNyalla : Peradaban Kesultanan Deli sumbang berbagai aspek budaya
Baca juga: Kuda sewa di Istana Maimun Medan kurang diminati pengunjung
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Dadan Ramdani
Sumber: ANTARA
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber (ANTARA, RRI atau TVRI).