ANTARA

  • Beranda
  • Berita
  • Mengingat lagi jejak besar putra Siantar, Adam Malik

Mengingat lagi jejak besar putra Siantar, Adam Malik

18 September 2024 14:52 WIB
Mengingat lagi jejak besar putra Siantar, Adam Malik
Lapangan Adam Malik menjadi hub sosial dan ikon kota multikultur, Pematang Siantar, di Sumatera Utara. diambil gambarnya pada MInggu 15 September 2024. (ANTARA/Jafar M. Sidik)
Medan (ANTARA) - Mungkin tak ada orang Pematang Siantar yang tak tahu Adam Malik Batubara, yang peran dan warisannya untuk bangsa ini jauh melintasi generasi dan zamannya.

Dia membuat bangga Pematang Siantar, yang September ini menjadi venue pertandingan tinju PON Aceh-Sumatera Utara 20204, sampai namanya diabadikan untuk sebuah lapangan yang menjadi ikon Siantar, Lapangan Adam Malik.

Selama satu jam di lapangan itu Minggu pekan lalu, ANTARA menanyai beberapa orang mengenai Adam Malik.

Menakjubkan, mereka yang ditanyai itu mengaku tahu Adam Malik, beserta kiprah-kiprahnya.

Tapi tak cuma bagi orang Siantar, Adam Malik juga langgeng dalam kenangan banyak orang Indonesia dari semua zaman, dalam banyak fungsi yang dia perankan.

Dia piawai dalam semua predikat yang melekat pada dirinya, entah sebagai negarawan, wartawan, diplomat, birokrat, atau politisi.

Gagasan dan praktik hidup baiknya melampaui zamannya hingga tetap aktual sampai kini.

Pahlawan Nasional kelahiran 22 Juli 1917 itu sudah membuat gebrakan-gebrakan besar yang mengguncang kemapanan sejak usia remaja.

Belanda pernah memenjarakannya kala dia berusia 17 tahun karena aktif dalam sebuah perkumpulan yang dilarang penguasa kolonial.

Masa mudanya erat dengan era yang menjadi mudigah untuk kebangkitan suku-suku Nusantara dalam melawan penjajahan Belanda.

Setidaknya empat peristiwa besar melekat erat pada diri Adam Malik.

Keempatnya terjadi pada 13 Desember 1937, kemudian 15 Agustus 1962, lalu 8 Agustus 1967, dan terakhir 25 Oktober 1971.

13 Desember 1936 adalah tanggal manakala dia bersama Albert Manoempak Sipahoetar, Soemanang Soerjowinoto, dan Pandoe Kartawigoena, mendirikan Kantor Berita Antara.

Saat itu pun mereka telah mendobrak quo dan kemapanan oleh sistem yang dibuat penguasa kolonial Belanda.

Baca juga: LKBN ANTARA kembali terima Adam Malik Award 2020 dari Kemlu RI

Selanjutnya: Melampaui zaman
Melampaui zaman

Karena pada dasarnya seorang pembelajar sejati, mengutip buku "Lima Windu Antara" karangan Soebagijo I.N terbitan 1978, Adam Malik berusaha menerapkan pola berita seperti dibuat kantor berita Reuters, dengan memberikan layanan berita kepada media lain.

Konsep itu bahkan tak terpikirkan di masa itu, sampai ditertawakan oleh kebanyakan wartawan zaman itu. Tapi ternyata pemikiran Adam Malik cs justru melampaui zamannya, dan bahkan melewati gerakan-gerakan anti-kolonialisme umumnya di Asia.

Tak ada kantor berita Asia lain yang lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan dan lahir sebelum negerinya lahir, selain Kantor Berita Antara.

Antara tak saja menjadi lembaga pers tertua Indonesia yang masih bertahan sampai kini, tapi juga salah satu yang tertua di Asia. Hanya Anadolu di Turki, CNA di Taiwan, Xinhua di China dan IRNA di Iran, yang lebih tua dari Antara.

Tak cuma pers yang menjadi dunia Adam Malik, karena dia juga politisi tangguh yang jatuh bangun bersama partainya.

Namun yang paling dibahas orang adalah reputasinya sebagai diplomat ulung, termasuk saat memimpin Indonesia dalam perundingan masa depan Irian Barat, dengan Belanda, yang berlangsung di New York, dengan perantara Amerika Serikat.

Di sana, dia berhasil mendesak delegasi Belanda pimpinan Jan Herman van Roijen untuk menyepakati Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, yang membuat Belanda angkat kaki dari Irian Barat setelah mengambangkan status wilayah itu dalam Konferensi Meja Bundar pada 1949.

Irian Barat kemudian diurus sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) sebelum menjadi bagian Republik Indonesia pada 1 Mei 1963.

Kiprah besar lain Adam Malik adalah membentuk Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bersama Narciso Ramos, Tun Abdul Razak, Tharat Khoman dan S. Rajaratnam, yang dideklarasikan pada 8 Agustus 1967.

Kelima orang itu menjabat menteri luar negeri untuk Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Singapura.

Adam Malik, Ramos dan Rajaratnam memiliki latar belakang wartawan, yang mungkin memudahkan komunikasi dan kesepahaman di antara lima pendiri ASEAN itu.

Reputasi diplomatiknya dia tunjukkan lagi saat menjabat Presiden Sidang Umum PBB pada 1971-1972 ketika dia berperan besar dalam masuknya Republik Rakyat China sebagai anggota PBB pada Oktober 1971, menggantikan Republik China (Taiwan).

Saat itu harian terkemuka AS, New York Times, menuliskan Adam Malik sebagai diplomat yang bereputasi hebat dalam meyakinkan semua pihak berbeda pandangan agar bersepakat.

Baca juga: Jurnalis sekaligus diplomat dan politisi ulung itu bernama Adam Malik

Selanjutnya: Warisan terbesar
Warisan terbesar

Tapi warisan terbesar Adam Malik, yang di sini berkaitan erat dengan nilai-nilai sosial di tanah kelahirannya di Siantar yang multikultur, adalah toleransi dan hidup inklusif.

Dengan dua hal mulia itu dia selalu mendorong Indonesia tak berpihak kepada siapa pun, kecuali untuk kepentingan rakyatnya, tapi aktif dalam perdamaian dan kerjasama dunia.

Saat mendirikan Kantor Berita Antara, pemikirannya yang sangat anti-kolonialisme telah mendorongnya membuat lembaga pers yang memperjuangkan masyarakatnya yang pada 17 Agustus 1945 mengikat diri menjadi Republik Indonesia.

Adam Malik pula yang menjadi salah seorang pemuda revolusioner yang menginginkan kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan, sampai Soekarno dan Mohammad Hatta diculik para pemuda termasuk Adam Malik, ke Rengasdengklok di Karawang sehari sebelum Kemerdekaan RI akhirnya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 pagi di Pegangsaan Timur, Jakarta.

Namun, semasa Adam Malik pula hubungan Indonesia-Belanda dinormalisasi pada 1968, setelah delapan tahun sebelumnya pada 1960 Bung Karno memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda.

Bung Karno sendiri sering berseberangan dengan Adam Malik, tapi dia beberapa kali melibatkan juniornya itu dalam kabinetnya, termasuk menjadi duta besar untuk Uni Soviet dan menteri perdagangan.

Tapi Adam Malik mulai menjaga jarak dari Bung Karno manakala dia mendapati Indonesia sudah terlalu condong kepada RRC, yang membuatnya merasa Indonesia tak lagi tak berpihak.

Tetapi begitu membangun kembali pemerintahan bersama Orde Baru, Adam Malik pula yang aktif mendorong RRC mengisi kursi PBB yang sebelumnya diisi Taiwan.

Sejumlah kalangan, termasuk di Barat, menilai bahwa dengan turut memperjuangkan RRC mengisi kursi PBB, maka hubungan Indonesia-RRC yang sempat dibekukan oleh Orde Baru pada 1967, akan terdorong mencair lagi.

Pembekuan itu sendiri dianggap telah membatasi manuver Indonesia di Asia Tenggara sebagai juru runding Blok Barat dan Timur di kawasan itu.

Cara terhadap RRC itu agak mirip dengan cara Adam Malik memimpin diplomasi Indonesia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia, yang lalu memuluskan jalan bagi terbentuknya persatuan kawasan dalam kerangka ASEAN.

Lain dari itu, Adam Malik menjadi salah satu dari sedikit tokoh yang berperan besar dalam membujuk kreditor-kreditor asing memberi keringanan waktu selama 30 tahun untuk membayar utang senilai 3 miliar dolar AS (kurs saat itu) warisan Orde Lama.

Dengan jejak-jejak mulia nan besar seperti itu, pantas saja Adam Malik dianugerahi banyak penghargaan, termasuk Pahlawan Nasional pada 1998.

Dia pantas mendapatkan semua penghargaan itu, terutama karena jasanya dalam memuliakan dan mempraktikkan nilai-nilai asli masyarakat Nusantara yang toleran dan inklusif, tapi selalu siap berkorban bagi sesamanya.

Tapi penghargaan untuk Adam Malik dan orang-orang besar sebelum dan setelah dia, tak boleh berhenti pada medali, piagam atau monumen, tapi juga kepada upaya melestarikan nilai-nilai yang mereka wariskan, khususnya nasionalisme, patriotisme, toleransi, pemikiran inklusif, dan pandangan jauh ke depan.

Baca juga: Enam jam mengesankan di Siantar

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Junaydi Suswanto
Sumber: ANTARA