ANTARA

PON terakhir Christine Ferliana

20 September 2024 17:37 WIB
PON terakhir Christine Ferliana
Atlet tenis meja senior Christine Ferliana (kiri) bersama pasangan ganda putri yang juga anak sulungnya Cindy Marcella Putri. (ANTARA/Aditya Ramadhan)
Medan (ANTARA) - “Aduh… Nggak, nggak lah. Ini terakhir, insya Allah ini terakhir.”

Atlet tenis meja senior asal Jawa Timur, Christine Ferliana, menegaskan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumatera Utara tahun 2024 adalah PON terakhir yang diikuti olehnya.

Christine yang kini sudah berusia 42 tahun, hampir tak pernah absen berkompetisi di ajang PON sejak usianya masih 18.

PON pertamanya adalah PON XV di Jawa Timur pada tahun 2000, kemudian PON XVII Kalimantan 2008, PON XVIII Riau 2012, PON XIX Jawa Barat 2016, dan PON XXI Aceh-Sumut pada 2024.

Dia hanya absen pada satu edisi pesta olahraga nasional, yakni pada PON XVI Palembang 2004, pada tahun kelahiran pasangan Christine di nomor pertandingan ganda putri PON 2024, Cindy Marcella Putri.

“Mama,” Cindy tertawa sambil sedikit malu menjawab pertanyaan tentang panggilan kepada ibunya.

Mama. Panggilan yang diucap Cindy kepada Christine pada saat di rumah, dan panggilan yang sama saat mereka bekerja sama di arena permainan tenis meja dalam kompetisi nasional.

Sebagaimana fitrah seorang ibu. Cindy merasa lebih nyaman ketika bermain ganda putri bersama Christine, yang membimbingnya dengan segala pengalaman atlet tenis meja senior. Namun sebaliknya, Christine justru tidak bisa lebih tenang ketika berpasangan dengan anaknya saat keduanya sama-sama memegang bet.

“Oo, lebih cerewet. Pasti lebih cerewet,” kata Christine sambil tertawa. Dan tertawanya bertambah lagi ketika mendengar pertanyaan, “Sudah sering cerewet di rumah ya?”

Akan tetapi, ibu tetaplah ibu. Cerewetnya Christine kepada Cindy dalam kompetisi karena dia ingin anaknya bisa mendapat juara bersamanya.

Harapan yang sepertinya harus disudahi karena Christine tak akan lagi ikut PON setelah ini. Christine-Cindy kalah di perempat final oleh pasangan Bali, Devi Yanti dan Devinta, dengan kedudukan akhir 3-2.

Atlet tenis meja senior asal Jawa Timur, Christine Ferliana. (ANTARA/Aditya Ramadhan)
Mereka kalah dalam deuce dramatis 12-10 dari Bali. Kekalahan yang dibayar mahal karena lutut Christine terkilir.

“Kemarin dibenerin lututnya, antara bisa main atau nggak main,” kata Christine usai kalah 4-1 dalam babak final tunggal putri dengan skema best of seven dari atlet Jakarta, Rina Sintya.

Bagi Christine, seorang ibu dua anak yang masih bertanding di PON pada usianya yang ke-42, bisa masuk final dan mendapat perak sudah sangat disyukuri.

“Bisa masuk final sudah Alhamdulillah,” katanya.

Perjalanan menuju final tunggal putri Christine lebih dramatis. Pada set keempat, saat Christine sudah unggul dalam kedudukan 2-1 atas lawannya Rofiana Nurul Sabila dari Jawa Tengah, poinnya terkejar.

Christine yang awalnya unggul 8-5 di set penentu kemenangannya, malah terkejar dan berbalik menjadi 8-10. Reno Handoyo di tepi lapangan memberikan banyak instruksi kepada Christine, yang hanya dijawab oleh anggukan beberapa kali.

Pada akhirnya, Christine berhasil menang 12-10 dan melaju ke final. Dia berjalan ke arah pelatihnya, Reno, lalu suaminya itu memeluknya hangat.

Baca juga: Tenis Meja - Christine Ferliana, atlet 42 tahun enam kali ikuti PON

Selanjutnya: Regenerasi


Regenerasi

Meski kualitas permainan Christine yang masih tangguh dan diandalkan oleh Jawa Timur untuk memperkuat tim putri, dia tidak memungkiri bahwa usia telah menghisap staminanya.

Apa lagi, Christine harus melakoni tiga pertandingan secara maraton di hari yang sama, sebelum bertanding di babak final.

Alasan yang masuk akal ketika melihat Christine bermain lebih taktis dengan penempatan posisi bola, dan jarang melakukan smes di babak final.

Sedangkan Rina, yang sedang dalam masa puncak seorang atlet di usianya yang ke-25, bermain lebih cepat dengan sejumlah smes keras yang tak mampu dikembalikan oleh Christine.

Tetapi, dengan statusnya sebagai pemain tenis meja paling senior di ajang PON 2024, raihan dua perak dan satu perunggu dalam empat nomor pertandingan yang diikutinya bukanlah hal yang buruk.

Satu perak lainnya didapat Christine dalam nomor beregu putri, di mana dia berdiri dalam satu podium bersama anak sulungnya, Cindy. Sedangkan satu perunggu diraih dari nomor ganda campuran, dengan pasangan petenis meja senior lainnya Ficky Supit Santoso.

Dua perak dan satu perunggu PON dalam usai 42 tahun. Lumayan.

Suatu perkara yang bisa menjadi pertanyaan lanjutan. Mana anak mudanya?

Pertanyaan yang sama dalam benak Christine ketika dirinya menerima panggilan untuk memperkuat Jawa Timur pada PON Aceh-Sumut.

“Seneng. Ada sedih juga,” Christine mengingat-ingat ketika diminta bertanding di PON.

Dia tidak memungkiri kegembiraan ketika masih dipercaya untuk kembali memperkuat Jawa Timur di Jawa Timur untuk kelima kalinya. Sedangkan sedihnya menurut Christine perihal regenerasi.

“Atlet-atlet muda harus bisa ngelebihin dari saya. Nggak harus saya sebenernya. Mereka harus lebih dari saya. Sedihnya itu.”

Petenis meja asal DKI Jakarta, Rina Sintya, meraih emas usai menang 4-1 atas wakil Jawa Timur, Christine Ferliana di partai final tenis meja tunggal putri PON XXI Aceh-Sumut di GOR Angsapura, Medan, Kamis (19/9/2024). (ANTARA/Aditya Ramadhan)
Akan tetapi, sedih Christine tidak berlarut. Sebagai seorang atlet senior, dia melihat ada potensi dari para petenis meja Indonesia yang berkompetisi pada PON Aceh-Sumatera Utara 2024.

Buktinya, Christine pun dapat dikalahkan dua kali, di babak final beregu putri dan tunggal putri. Yang kebetulan lawannya di kedua final adalah lawan yang sama berasal dari Jakarta.

Christine mengakui permainan Rina yang mengalahkannya 4-1 di tunggal putri sangat bagus. Dia juga mengakui kemampuan Desi Ramadanti dari Jakarta yang mengalahkannya 3-2 di final beregu putri.

“Sudah ada perlawanan. Bagus lah. Jadi ada harapan lagi.”

Atlet-atlet muda tenis meja itu termasuk anaknya sendiri, Cindy Marcella Putri. Yang menurutnya juga sudah mulai berkembang dan menyulitkan lawan-lawannya.

Harapan Christine terhadap Cindy, adalah harapan yang sama dari atlet tenis meja senior kepada petenis meja muda lainnya. Yaitu bisa mengharumkan nama Indonesia lebih baik di masa depan.

Christine telah berkompetisi di SEA Games sejak 1999 hingga 2011. Dalam rentang waktu tersebut, dia telah mengalungi 11 medali di Asia Tenggara, yang di antaranya 2 perak dan 9 perunggu.

Terakhir kali Christine mengalungi emas di ajang PON adalah delapan tahun lalu. Christine meraih emas tunggal putri pada PON XIX Jawa Barat 2016, yang saat itu usianya 34 tahun.

Christine sekali lagi memastikan dirinya tidak akan mengikuti PON XXII Nusa Tenggara 2028. Namun Christine juga belum mau menggantung bet. Dia masih ingin berkiprah di kompetisi tenis meja lainnya, seperti kejuaraan tenis meja terbuka.

“Kalau semangat sih masih 20 tahun ya,” kata Christine tertawa lepas.

Baca juga: Tenis Meja - Christine-Cindy pasangan ganda putri ibu-anak di PON XXI

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Junaydi Suswanto
Sumber: ANTARA