Salah satu cerita tentang orang-orang di balik panggung utama itu adalah tentang Evaritus Mateus Moah.
Pria berusia 69 tahun ini hampir tak pernah absen dalam setiap arena tinju pada pesta olahraga terbesar di Indonesia sejak PON XV di Jawa Timur pada 2000.
Mateus bukan atlet, bukan pula pelatih. Dia hanya penjual suvenir berbentuk sarung tinju, untuk gantungan kunci, kalung, sampai ikat pinggang.
Dalam final cabang olahraga tinju PON Aceh-Sumatera Utara 2024, di Universitas HKBP Nommensen, Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada Kamis (19/9), Mateus duduk tenang di belakang lapaknya.
Ia mengenakan pakaian serba tinju dari ujung kepala hingga kaki, seolah ingin menunjukkan cinta teramat besarnya kepada olahraga adu jotos itu.
Mateus bukanlah orang baru di dunia tinju. Pria asal Maumere di Nusa Tenggara Timur ini sudah mencintai tinju sejak muda.
Meski jalurnya berbeda dari petinju-petinju yang bertarung di ring, Mateus telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ring tinju.
Baca juga: Huswatun Hasanah pertahankan emas tinju NTB di PON Aceh-Sumut
Perjalanan Mateus di dunia tinju diawali dari hijrahnya ke Bogor, Jawa Barat pada 1977. Ia pernah menekuni profesi sebagai pelatih tinju di Kabupaten Bogor, selama 21 tahun, dari 1995 hingga 2016.
Ada momen penting dalam hidupnya pada 9 September 1999, ketika di dalam kepalanya muncul ide unik.
Ia terpikir membuatkan suvenir yang bisa menjadi kenang-kenangan untuk para penggemar tinju. Dari situlah lahir ide membuat pernak-pernik bertema tinju.
Momen penting dalam hidupnya terjadi pada PON 2000 di Jawa Timur, ketika 600 suvenir yang dia jajakan ludes dalam waktu dua hari.
Peristiwa itu membuatnya terus semangat berkarya dan menjual suvenir di berbagai kejuaraan tinju, mulai tingkat daerah hingga nasional.
“Setiap ada event tinju, pasti saya hadir," kata Mateus dengan senyum bangga.
Namun, dia harus melewatkan satu PON, yakni PON XX/2021 Papua. Mateus tidak bisa hadir karena kala itu belum divaksin, dan itu adalah satu-satunya PON yang dia lewatkan sejak 2000.
Baca juga: Tinju - Aldriani tak tertandingi dengan kembali raih emas di PON 2024
Filosofi cinta tinju
Bagi Mateus, tinju lebih dari sekadar olahraga. Ada filosofi cinta yang mendalam di baliknya.
Tak hanya menonton atau menjajakan dagangan, dia rela menempuh perjalanan jauh demi hadir dalam setiap acara tinju.
Misal pada PON 2024. Dari Bogor di Jawa Barat, ke Pematang Siantar di Sumatera Utara, dia menempuh perjalanan dengan bus selama lima hari.
Kendala tak luput dia hadapi . Bus yang ia tumpangi beberapa kali mogok di jalan. Tapi semua itu tak menyurutkan semangatnya.
“Bukan cuma atlet yang menantikan PON, saya juga,” kata Mateus.
Meski kini usianya hampir 70 tahun, Mateus tetap setia menghadiri setiap kejuaraan tinju, yang skalanya beragam.
Baca juga: Boy Pohan berharap PON 2024 pacu wasit tinju lokal go internasional
Baginya, tinju adalah bagian dari hidup yang ia jalani dengan cinta, seperti cinta yang tak mengenal usia.
Suvenir yang dia buat juga bukan cuma barang jualan. Setiap pernak-pernik tinju yang ia ciptakan sarat makna.
Ukurannya yang bervariasi melambangkan kelas-kelas dalam tinju, dari kelas terbang mini, terbang, ringan, hingga kelas berat.
Hal menarik pada PON 2024, dia menyesuaikan dengan kelas-kelas yang dipertandingkan.
"Ini yang membuat suvenir untuk kelas berat tidak ada, karena PON 2024 kelas tertinggi ada di berat ringan," ujar Mateus, tentang suvenir untuk kelas berat yang tidak biasanya hilang dari lapaknya.
Oh iya, Mateus membuat gantungan kunci, kalung, hingga ikat pinggang yang semuanya bertema tinju dan dibuat dengan tangan, tanpa bantuan mesin.
Dari mulai mengukir bahan hingga mendempul dan melapisinya dengan fiber, semua dilakukannya sendirian. Harganya pun beragam mulai Rp15 ribu. Namun untuk harga tertinggi, dia enggan menyebutkan. "Ya, segitu lah," ujarnya sambil tertawa.
Baca juga: Jadwal tinju PON 2024: 20 pertandingan tersaji di partai puncak
Hotel Ampar Jaya
Perjalanan Mateus ke PON 2024 di Pematang Siantar adalah bukti betapa dia rela berkorban demi cintanya kepada tinju.
Lima hari dia habiskan di jalan, melawan berbagai rintangan, termasuk mobil yang ditumpanginya beberapa kali mogok.
Namun, bagi Mateus, semua itu adalah bagian dari petualangan hidup yang dengan suka cita dia nikmati.
Soal penjualan, dia mengakui dalam dua hari pertama pertandingan tinju, dagangannya sepi dari pembeli.
“Kadang ramai, kadang sepi. Tapi saya nikmati saja dan cukup saja. Ini sudah jalan hidup saya,” kata dia, tetap santai. Dia enggan menyebutkan omzet dagangannya.
Mateus bukan hanya orang yang penuh cinta, tetapi juga orang yang menjalani hidup dengan sederhana.
Baca juga: Syamsul Anwar sebut mental bertanding modal penting bagi atlet tinju
Di sela-sela kesibukannya, ia sempat bercerita tentang tempat tinggalnya selama di Pematang Siantar.
Ia menyebutnya “Hotel Ampar Jaya”, istilah yang ia buat sendiri untuk menggambarkan tidurnya yang serba sederhana.
“Hotel Ampar Jaya itu tempat saya gelar tikar untuk tidur. Di mana saja bisa, asal nyaman,” kata dia, kali ini diiringi dengan tawa terbahak-bahak.
Dengan kesederhanaan yang ia jalani, Mateus tetap sosok yang penuh semangat hidup.
Ketika PON 2024 usai, Mateus akan kembali ke Bogor dengan membawa cerita baru dan mungkin beberapa suvenir yang belum terjual.
Namun, yang terpenting, ia akan pulang dengan kebanggaan karena sekali lagi dia telah menjadi bagian dari sejarah tinju Indonesia.
Di mana ada tinju, di situ ada Mateus.
Pewarta: Muhammad Ramdan
Editor: Jafar M Sidik
Sumber: ANTARA
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber (ANTARA, RRI atau TVRI).