RRI

Lukisan Kulit Kayu Suvenir PON Papua 

9 Oktober 2021 10:50 WIB
Lukisan Kulit Kayu Suvenir PON Papua 

KBRN, Jayapura: Sejumlah pernak-pernik khas Papua dijajakan pada perhelatan Pekan Olah Raga PON ke-20.Salah satunya adalah lukisan yang menjadikan kulit kayu sebagai kanvasnya.

Darimana souvenir itu didatangkan? Kami menelusurinya hingga ke sumbernya di pulau Asei yang berada di tengah Danau Sentani.

"Saya lahir di tengah-tengah danau di Danau Sentani tepatnya di Pulau Asei," kata Qorri Ohhe menyambut  perkenalan kami.

Di pulau inilah, Pak Qorri dan masyarakat Sentani lainnya bermukim.  Mereka dikenal sebagai pelukis dengan media kulit kayu. 

Pengetahuan melukis ini diwariskan oleh nenek moyang mereka dan sudah ada sejak zaman prasejarah.

Qorri mengatakan, "Melukis di atas kulit kayu sudah dilakukan sejak remaja usia 17 tahun hingga usia saya sekarang 60 tahun."

Kulit kayu yang dijadikan sebagai media melukis yaitu kulit pohon kombouw (ficus variagata). 

Kulit kayu kombouw memiliki tekstur yang bagus sebagai media melukis kata Pak Qorri.

"Kulitnya bergetah dan bisa tumbuh besar, pohon ini bisa diproduksi dalam usia 3 hingga 5 tahun dengan berdiameter 15 centimeter"

Motif Dari Jaman Prasejarah

Kulit kayu dilukis menggunakan warna-warna yang berasal dari pigmen tumbuhan, arang, tanah liat dan kapur sirih. 

Motif lukisan yang biasa dibuat yaitu fauna Sentani, flora dan lambang.

"Saya banyak melukis motif abstrak," kata Pak Qorri. 

Selintas menikmati karyanya, Radio Republik Indonesia teringat dengan maestro pelukis Affandi yang khas dengan gaya ekspresionis dan romantismenya.

Alasannya, kalau pelukis kulit kayu lain lebih banyak membuat motif yang ada hubungannya dengan kehidupan sehari hari sebut saja daun palem, awan, cicak, kadal, ikan, buaya atau kelelawar juga tikus air,  Pak Qorri melukis motif megalitik tutari atau motif motif dari jaman prasejarah.

Dia yakin memadukan motif tertua peninggalan manusia prasejarah di Danau Sentani nilainya lebih tinggi dan disukai kolektor dan turis mancanegara.

Lukisan kulit kayu ini disebut malo atau maro, warga negara asing yang berkunjung ke Pulau Asei menyebutnya bark painting. 

Menurut ceritera arkeolog senior pada Balai Arkeologi Papua, Suroto Hari, "Pada masa kolonial Belanda, beberapa malo dikirim ke Eropa."

Bahkan seniman Prancis, Viot mengoleksi malo ini. Malo koleksi Viot dipamerkan di Musee d’Ethnographie du Trocadero, Paris.

Saat ini pohon kombouw sudah sulit dijumpai di sekitar Danau Sentani maupun pegunungan Cycloop. 

Diibaratkan Pak Qorri, pulau Asei  dikelilingi rumah-rumah yang penghuninya melakukan seni kerajinan ini.

"Dulunya di sekitar hutan banyak pohon kombouw dan orang yang mengerjakan itu barang (lukisan kulit kayu,red) sedikit, jadi stoknya banyak. Tapi sekarang semua keluarga yang ada di pulau ini menekuni barang ini akhirnya kami kekurangan bahannya," ujar Pak Qorri.

Lantas bagaimana jalan keluarnya? Suroto Hari menyebut masyarakat Asei menggunakan kulit pohon sukun yang kualitasnya lebih rendah sebagai pengganti.

"Untuk itu perlu digalakkan penanaman kembali pohon kombouw di sekitar Danau Sentani dan pegunungan Cycloop," ujar Suroto Hari meski Pak Qorri  dan masyarakat Pulau Asei mendatangkan bahan kulit kayu dari wilayah Yogyakarta,

"Kalau kita mencari di hutan, biaya produksi tinggi sekali karena memakan perjalanan jauh hingga puluhan kilometer," timpal Pak Qorri.

Pemasaran dijual ke sejumlah tempat atau galeri di Jayapura.

Jelang Pekan Olah Raga Nasional ke-20 di Papua ini, lukisan dari kulit kayu orang Sentani sudah dipesan jauh-jauh hari.

"Mereka sudah memesan jauh jauh hari, kan PON sempat ada penundaan toh  sehingga stoknya banyak saat penyelenggaraan," pungkas Pak Qorri yang sangat berharap ada bantuan Pemerintah untuk membuka akses pemasaran sehingga bisa menampung hasil produksi masyarakat.

Pewarta: Budi Prihantoro
Editor: Nugroho
Sumber: RRI