KBRN, Jayapura: Matahari sudah mulai meninggi di dermaga Yahim, yang lokasinya 30 menit dari Bandara Sentani Papua.
"Sudah lama nunggunya mas ?," tanya Hari Suroto, peneliti senior pada Balai Arkeologi Papua yang akan menemani Radio Republik Indonesia ke rumah kepala suku Abar.
"Tidak juga, baru juga 15 menit sampai dermaga," jawab kami sambil bertanya buat apa sayur mayur itu kepada Hari.
"Kangkung, bunga daun pepaya dan kawan kawan ini saya beli dipasar untuk dimasak dengan Papeda," timpal Hari.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit menggunakan kapal motor kecil milik penduduk setempat, tibalah kami di rumah Kepala Suku Abar, Naftali Felle.
Di Pulau Abar yang ditengah danau Sentani ini, Naftali Felle menghabiskan 60 tahun hidupnya.
"Ini hamparan alang-alang yang kita lihat ini semuanya tanah liat. Kita punya tanah liat ini kita pakai sampai dunia berakhir," ujar Naftali Felle.
Penduduk pulau yang sebagian besar bertani dan menjala ikan ini diwarisi keterampilan membuat gerabah oleh leluhur mereka.
Setelah bercerita banyak asal usul nenek moyang mereka hingga mampu membuat produk kriya itu sang Kepala Suku menyuguhkan kuliner khas orang Papua, Papeda.
"Ini kita punya makanan pokok orang Papua pada umumnya, dan kami Sentani pada khususnya,"katanya.
"Waktu dulu kalau kita mau makan Papeda orangtua putar papeda semua anak-anak dipanggil tidak terkecuali semua harus datang, duduk berkeliling,"sambung Naftali.
Dari dapur rumah panggung kayu sang kepala suku yang berdiri diatas danau inilah bubur sagu dimasak oleh ibu kepala suku dan dua anak perempuan mereka.
Setelah Papeda masak, mama menyajikannya bersama kami tak lupa juga 'teman' makan Papeda yakni ikan kuah juga sayur yang dibawa Hari Suroto sebelum nyebrang ke pulau tadi.
Pada jaman dahulu, orang Abar kata Naftali punya tradisi makan Papeda berkeliling dalam satu wadah yang mereka sebut Sempe.
Sempe dari tanah liat ini mereka buat sendiri karena pulau yang mereka tinggali punya deposit tanah liat melimpah dan satu satunya di Jayapura.
Kata kepala sauku "di satu Sempe ini ambil papeda, kemudian colok kuah dan ambil ikan dari satu piring ikan. Disana ada hubungan ikatan kekeluargaan. Disaat itulah sang bapak memberikan nasihat hidup kepada anak-anak mereka"
Kuliner ikan duri lunak
Banyak cerita tentang Papeda. Salah satu kisah disampaikan oleh Hari Suroto yang menyebut pengetahuan tentang kuliner ikan masak duri lunak ternyata sudah dikenal sejak masa prasejarah di kawasan Danau Sentani, Papua.
Penelitian Balai Arkeologi Papua di Bukit Khulutiyauw, Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura berhasil menemukan artefak batu berbentuk bundar pipih. Artefak batu ini berdiameter sekitar 10 cm.
Sambil menunjuk Hari mengatakan "Bukit Khulutiyauw terletak di tepi Danau Sentani bagian selatan atau sebelah barat Kampung Abar disana"
Artefak batu yang ditemukan di Bukit Khulutiyauw pada masa lalu berfungsi untuk memasak presto ikan dalam gerabah.
"Artefak batu ini ditemukan bersama pecahan-pecahan gerabah yang banyak dijumpai di hampir seluruh permukaan Bukit Khulutiyauw,"ujar Hari Suroto.
Dalam tradisi Sentani dikenal kuliner ikan kuah hitam atau hebehelo. Kuliner hebehelo berupa presto ikan danau dengan wadah gerabah dengan bumbu daun dan batang keladi.
Terdapat beberapa jenis keladi di Sentani, hanya keladi jenis bete yang digunakan sebagai bumbu. Keladi jenis ini bentuk daun dan batangnya kecil berwarna ungu.
Cara memasaknya yaitu batang dan daun keladi diasapkan terlebih dulu di perapian. Sebelumnya, siapkan dulu wadah gerabah yang bagian dalamnya telah ditaruh anyaman bambu sebagai alas.
Di atas anyaman bambu itu, ditaruh ikan yang sudah dibersihkan. Sebelum dikenal ikan mujair, ikan yang dimasak berupa ikan gabus hitam atau kayou (Eleotrididae Oxyeleotris heterodon) dan ikan gabus merah atau kahe (Eleotrididae Giuris margaritacea). Setelah itu ditambah air secukupnya dan garam.
Kemudian "baru di atasnya ikan tadi, ditaruh batang dan daun keladi kering. Pada permukaan atas bahan makanan tadi ditaruh batu bundar pipih untuk penutup sekaligus sebagai penekan,"kata Hari.
Wadah gerabah berisi ikan dipanasi di atas bara api selama sekitar dua jam.
Garam dan bumbu batang keladi akan merasuk dalam ikan. Selain itu, ikan akan terasa empuk sampai tulang. Rasanya tentu saja enak.
Penggunaan batang dan daun keladi merupakan bentuk kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun di Sentani. Ternyata, batang dan daun keladi ungu mengandung polifenol yang terbukti menurunkan kolesterol.
Ikan gabus Sentani memang memiliki kandungan lemak tinggi, jadi untuk menyeimbangkannya digunakanlah batang dan daun keladi.
Keladi merupakan jenis tanaman yang ditanam pertama kali pada masa prasejarah, 8000 tahun yang lalu di Papua dan Papua Nugini. Sedangkan budaya gerabah mulai dikenal di Papua sejak 3000 tahun lalu. Kuliner ikan kuah hitam ini dapat disajikan sebagai kuliner khas untuk PON XX Papua.
Pewarta: Budi Prihantoro
Editor: Tegar Haniv Alviandita
Sumber: RRI