ANTARA

  • Beranda
  • Berita
  • Menyelami persatuan lewat perbedaan ala pemeluk Hindu Budha di Papua

Menyelami persatuan lewat perbedaan ala pemeluk Hindu Budha di Papua

14 Oktober 2021 16:24 WIB
Menyelami persatuan lewat perbedaan ala pemeluk Hindu Budha di Papua
Pura Agung Surya Buana yang ada di Jayapura menjadi lokasi ibadah umat Hindu terbesar di Kota Jayapura. (ANTARA/Livia Kristianti)
Jayapura (ANTARA) - Papua dikenal sebagai surga kecil jatuh ke bumi, tak hanya dari keindahan alam yang eksotis tapi juga dalam hal bermasyarakat sebenarnya mereka kental menjaga rasa persatuan meski berbeda- beda.

Namun sayangnya masih banyak stigma negatif yang melekat terhadap persatuan di Tanah Papua, padahal jika anda mengalami langsung rasa persatuan dalam perbedaan di kawasan paling timur Indonesia itu sangatlah kaya dan kental.

Sebagai contoh hal itu tercermin pada pengalaman para pemeluk keyakinan minoritas yaitu Hindu dan Budha yang mulai masuk sekitar 1970-an di Negeri Mutiara Hitam itu.

Kedua agama itu mulai masuk dan mendirikan tempat ibadah di Papua karena di era itu Pemerintah dengan gencar mengirimkan para pegawainya untuk mengabdi di Bumi Cenderawasih.

Pendekatan humanis dan juga mengedepankan kearifan lokal menjadi kunci kedua agama tersebut bisa diterima oleh masyarakat Papua sehingga hingga kini bisa terus berdampingan.

Contohnya seperti para penganut keyakinan Hindu di Pura Agung Surya Buana yang diterima masyarakat Papua sebagai “Bali kecil” yang memberikan ketenangan.

Terletak di Kota Jayapura, Pura Agung Surya Buana sudah menjadi pusat peribadatan umat Hindu di Jayapura sejak 1978.

Awalnya para pendatang dari Jawa dan Bali yang rutin mengikuti ibadah di Pura Agung Surya Buana, namun lambat laun seiring dengan beradaptasinya para pendatang dan membaur dengan masyarakat setempat tak sedikit akhirnya dari mereka mengikat janji setia lewat pernikahan.

Masyarakat setempat yang melakukan pernikahan dengan pendatang meski jumlahnya tak banyak akhirnya ikut memeluk agama Hindu.

Dari percampuran dua budaya yang berbeda itu, menariknya tak ada penolakan atau kebencian dari masyarakat asli Papua.

Masyarakat yang masih memegang teguh budaya di Tanah Papua dengan tangan terbuka menerima para umat Hindu yang memiliki keyakinan berbeda.

Justru dengan kehadiran Pura Agung Surya Buana masyarakat Papua mendapatkan ilmu baru terkait keberagaman budaya nusantara.

“Jadi masyarakat setempat juga tidak jarang melakukan wisata religi ke Pura ini. Biasanya anak- anak sekolah datang kesini bertanya dan mengenal seperti apa umat Hindu beribadat, mereka menjadikan Pura ini sebagai ladang menerima ilmu dan budaya,”kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) provinsi Papua I Komang Alit Wardhana saat ditemui ANTARA.

Pura Agung Surya Buana telah ditetapkan sebagai Padma Buana Nusantara, maka dari itu pada saat pemugaran di 2006 lukisan- lukisan di bagian depan tempat semua orang melihat pertama kali kemegahan Pura Agung Surya Buana ditambahkan sentuhan khas Papua.

Tujuannya untuk menghormati dan menghargai kebudayaan dari kawasan paling timur di Indonesia itu.

I Komang Alit Wardhana pun menyebutkan lewat sentuhan simbolis itu keindahan persatuan dalam perbedaan di tanah Papua bisa terlihat dan tergambar dengan indah di Pura Agung Surya Buana.

Baca juga: PWNU: Pendekatan kultural di Papua terus diwariskan melalui pendidikan

Selanjutnya : Vihara Arya Dharma
Vihara Arya Dharma Jayapura menjadi lokasi ibadah satu- satunya di Jayapura untuk penganut agama Budha dan memiliki bentuk menyerupai koware. (ANTARA/Livia Kristianti)

Vihara Arya Dharma

Cerita lain tentang indahnya perbedaan namun tetap bisa menciptakan persatuan yang kental juga datang dari Vihara Arya Dharma yang juga terletak di Kota Jayapura.

Menurut Ketua Vihara Arya Dharma Pandhipta Aan Djamian persatuan dan penerimaan masyarakat terhadap sebuah perbedaan di Papua sangatlah harmonis.

Ia bahkan menyebutkan anggapan buruk mengenai masyarakat Papua adalah sebuah kesalahan yang besar, karena pada dasarnya dengan pendekatan yang tepat masyarakat di Bumi Cendrawasih rupanya memiliki hati yang lembut.

“Papua memang unik, kalau diibaratkan sebagai buah maka bisa dibilang masyarakat disini adalah rajanya buah. Jadi mungkin dari luar terlihat kulitnya tajam, menakutkan saat pertama kali lihat. Tapi saat dibuka dengan tepat, dengan sentuhan cinta kasih maka hasilnya didapat manis dan lembut,” kata Aan menggambarkan kebaikan hati masyarakat Papua.

Pandhita Aan menuturkan sejak dibangun 32 tahun yang lalu, Vihara Arya Dharma berdiri dengan filosofis harmonis dan dinamis menyatu dengan budaya di Papua.

Maka dari itu sejak awal didirikan Vihara Arya Dharma memang sengaja dibangun dengan bentuk menyerupai koware.

Sebelum adanya ajaran beragam agama masuk ke Papua, koware merupakan tempat ibadat nenek moyang masyarakat Papua.

“Kami Budha masuk dengan tidak merusak tradisi mereka, jadi kami hidup berbaur dan menyatu dengan masyarakat yang masih memiliki tradisi- tradisi yang dipegang teguh sampai sekarang,” kata Aan.

Sejak berdirinya Vihara Arya Dharma hingga saat ini ada tiga kelompok besar yang menjadi penganut agama Budha di Jayapura mereka berasal Jawa, NTB, dan merupakan keturunan China.

Meski masyarakat asli Papua tidak memeluk agama Budha, namun penerimaan masyarakat terhadap para pemeluk keyakinan Budha sangatlah baik.

Komunikasi yang merakyat terus dijalin khususnya melewati bantuan Ondoafi atau Kepala suku adat.

Hal itu agar memastikan kedamaian serta hubungan yang terjalin dapat terus terjaga sehingga meski dalam kondisi berbeda- beda di masyarakat tetapi tetap satu menghidupi semangat semboyan Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika.

Keragaman dan penerimaan dalam perbedaan juga terlihat kental setiap perayaan hari- hari besar keagamaan.

Pandhita Aan menceritakan jika di Pulau Jawa tidak awam bagi antar umat beda agama mengunjungi tempat ibadat satu sama lain, maka di Papua hal itu menjadi tradisi tersendiri yang tentunya memberikan pengalaman unik dan menggambarkan persatuan.

“Kami kalau Waisak itu open house, itu semua umat beragama mau dia Hindu, Budha, Islam, maupun Kristen itu semuanya datang. Sama halnya kalau di gereja ada natal, kami ikut meramaikannya. Begitu juga pada saat yang Muslim merayakan Lebaran kami juga datang bersilaturahmi. Hal itu biasa disini. Kami bukan sekadar bicara ya, jadi kami benar- benar menggaungkan keharmonisan agama,” ujar Aan.

Rasa menghargai keberagaman untuk menciptakan persatuan itu pun turut diturunkan kepada generasi yang lebih muda.

Pandhita Aan bercerita kehadiran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Papua sangatlah besar untuk menghadirkan generasi muda yang juga memiliki rasa welas asih itu.

Digagas melalui acara bernama “Camp Damai”, anak- anak muda diajarkan untuk saling mengenal dan berinteraksi dari lima unsur agama yang ada di Papua.

“Awalnya mereka malu- malu. Mereka kan masih duduk di bangku SMA ya rata-rata, nah disitu kita bentuk karakter dan kapasitas mereka memahami kesatuan. Lalu akhirnya mereka bisa berbaur dan menjadi keluarga menjadikan dasar untuk generasi penerus,” kata Pandhita Aan.

Lewat kegiatan- kegiatan itu, Pandhita Aan yakin rasa persatuan yang telah dipupuk puluhan tahun lamanya meski di tengah perbedaan bisa tetap terjaga.

Dengan keindahan di setiap penerimaan antar umat beragama, terlihat jelas Bhineka Tunggal Ika terefleksikan di Bumi Cendrawasih.

Semoga hal ini bisa juga tergaung tak hanya di Papua tapi juga seluruh Indonesia.

Baca juga: Papua Barat "rumah besar" keragaman suku di Indonesia, sebut Gubernur
Baca juga: Tokoh pemuda Papua berharap pendidikan keberagaman diajarkan

Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Junaydi Suswanto
Sumber: ANTARA