JAKARTA, - Demi mengoptimalkan penyelesaian penanganan kasus narkoba dan rehabilitasi, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan pendekatan Keadilan Restoratif sebagai pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.
Dengan pedoman yang telah ditetapkan itu diharapkan dapat menjadi salah satu cara mengurangi masalah kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan, karena jaksa dapat mengoptimalkan opsi hukuman lain, yaitu rehabilitasi.
"Latar belakang dikeluarkannya pedoman tersebut adalah memperhatikan sistem peradilan pidana saat ini cenderung punitif, yang tercermin dari jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas (overcrowding) dan sebagian besar merupakan narapidana tindak pidana narkotika," ujar Leonard, Minggu (7/11).
Tertuang dalam Bab IV tentang penuntutan dalam pedoman itu dengan persyaratan, yaitu terdiri atas rehabilitasi medis dan sosial. Mereka yang bisa direhabilitasi yaitu tersangka yang melanggar Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika yang merupakan penyalah guna.
Kualifikasi sebagai penyalahguna terdiri atas penyalahgunaan narkotika (vide Pasal 1 angka 15 UU Narkotika), korban penyalahgunaan narkotika (vide penjelasan Pasal 54 UU Narkotika), atau pecandu narkotika (vide Pasal 1 angka 13 UU Narkotika).
Selanjutnya, dalam pedoman itu terdapat enam persyaratan rehabilitasi bagi penyalahguna. Syarat tersebut, antara lain, berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium forensik, tersangka positif menggunakan narkotika.
Lalu, berdasarkan hasil penyidikan dengan menggunakan metode know your suspect, tersangka tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika dan merupakan pengguna terakhir atau end user.
Rehabilitasi dapat dilakukan jika tersangka ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti narkotika atau dengan barang bukti narkotika yang tidak melebihi jumlah pemakaian satu hari.
Namun, jika tersangka belum pernah menjalani rehabilitasi atau telah menjalani rehabilitasi tidak lebih dari dua kali yang didukung dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh pejabat atau lembaga berwenang.
Sumber: TVRI