ANTARA

Peparnas Papua dan bahwa hidup itu perjuangan

9 November 2021 17:22 WIB
Peparnas Papua dan bahwa hidup itu perjuangan
Pelari putri Jawa Barat Insan Nurhaida (kiri) beradu cepat dengan pelari Sumatera Selatan Endang Purwita Sari (kanan) pada final nomor 100 meter putri klasifikasi T35-T36 di Stadion Lukas Enembe, Kabupaten Jayapura, Papua, Selasa (9/11/2021). Insan Nurhaida berhasil membuat rekor nasional dengan catatan waktu 16,51 detik. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/nym. (ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A)
Jakarta (ANTARA) - Palingkanlah sejenak mata dan kepala Anda ke layar televisi atau kanal YouTube Anda untuk menyaksikan yang dilakukan saudara-saudara berkebutuhan khusus kita selama Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) XVI Papua di berbagai arena di kota dan kabupaten Jayapura.

Di sana, saudara-saudara difabel kita beradu cepat, beradu kuat, beradu keterampilan, di kolam renang, di lintasan atletik, di lapangan-lapangan, di segala tempat di mana kompetisi untuk kaum difabel digelar, seperti dua bulan lalu pernah terjadi di Tokyo dalam Paralimpiade 2020.

Jika Anda cermati, dari setiap kayuhan tangan mereka ketika membelah air di kolam renang, dari setiap ayunan raket yang mereka pegang untuk memukul bola dalam pertandingan bulu tangkis, dari setiap gerakan kaki saat beradu cepat di lintasan atlet, atau gerakan apa saja yang mereka buat saat berkompetisi selama Peparnas Papua, jelas terlihat ada perjuangan keras yang mungkin lebih hebat dari yang dilakukan oleh atlet-atlet yang tak memiliki kekurangan apa-apa dalam fisiknya.

Saudara-saudara berkebutuhan khusus kita yang tengah berkompetisi di Papua adalah manusia pejuang yang berjuang lebih dari sekadar mencetak rekor, medali dan prestasi, karena mereka juga melawan berbagai keterbatasan.

Mereka yang sedang berkompetisi dalam Peparnas Papua 2021 adalah bagian dari mereka yang tak ingin apa yang tiada dari fisiknya dieksploitasi demi belas kasihan.

Mereka justru ingin memberikan sesuatu kepada yang lain, paling tidak memberi pesan bahwa hidup itu perjuangan, bahwa kekurangan fisik bukanlah kendala, melainkan kekuatan guna menciptakan hal besar bagi dirinya dan orang lain, walaupun hanya demi membuat orang lain tersenyum arau turut bahagia atau ikut berbangga.

Baca juga: Wapres sebut Peparnas Papua bukan sekadar kompetisi

Di antara mereka, ada petenis yang menggunakan tangannya tidak hanya untuk memegang raket guna memukul bola, namun juga guna menggerakkan roda pada kursi rodanya sehingga bisa mengembalikan pukulan atau servis lawan.

Ada perenang yang harus memulai gaya bebas bukan dari atas kolam renang melainkan dari bawah kolam seperti perenang gaya punggung mengawali lomba. Mereka harus memulai dari bawah karena tidak memiliki kaki sehingga tak bisa membuat ancang-ancang dari atas.

Ada pebulutangkis yang keadaan fisik kaki dan badannya membuatnya tak bisa melangkah cepat atau meloncat tinggi menyambut shuttlecock dari pukulan lawan untuk mereka kembalikan sebagai smash, lob, atau dropshot.

Semua memiliki keterbatasan, tetapi semua menganggap keterbatasan sama sekali bukan penghalang, melainkan kekuatan dalam menaklukkan keterbatasan itu sendiri.

Mereka berbuat segalanya dalam setiap lomba dan pertandingan. Dengan penuh wira dan semangat, mereka berlomba menunjukkan potensi, keterampilan dan kreativitas dalam kondisi fisik tidak selengkap umumnya dimiliki manusia.

Sudah empat hari sejak Peparnas Papua dibuka, atlet-atlet istimewa ini berkompetisi bersama apa yang bagi orang lain disebut kekurangan namun bagi mereka justru anugerah yang membuat mereka istimewa.

Di antara pelajaran paling menarik dari mereka adalah 'jangan menyerah karena keadaan', apalagi sampai mengutukinya dan mengeksploitasinya agar orang lain jatuh kasihan.

Semangat itu yang membuat hidup tetap dijalani dengan gairah tinggi dengan tak pernah kehilangan asa. Dan ini layak diteladani siapa pun, termasuk masyarakat yang dihimpit dampak buruk pandemi COVID-19.

Baca juga: Wakil Presiden Ma'ruf Amin sebut atlet Peparnas Papua inspirasi bangsa
 
Perenang Papua Barat Boy Levinus Wardy bersiap untuk berlomba pada final renang 50 meter gaya dada putra klasifikasi S5 di Kolam Akuatik Lukas Enembe, Kabupaten Jayapura, Papua, Senin (8/11/2021). . ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/nym.


Semangat tak putus harapan

Beberapa dari atlet-atlet itu sudah menyandang predikat difabel sejak lahir, sedangkan yang lainnya mendapatkannya karena kecelakaan atau situasi-situasi tidak menguntungkan sehingga menjadi tidak memiliki kelengkapan fisik seperti kebanyakan orang.

Tetapi tidak seorang pun dari mereka datang ke Papua untuk minta dikasihani.

Seperti difabel-difabel lain yang berkarya dalam banyak bidang kehidupan dari mulai seni sampai ekonomi kreatif, mereka tak mau apa yang bagi orang kebanyakan dianggap keterbatasan, menghalangi mereka untuk tetap berkarya, baik demi dirinya maupun untuk orang lain, masyarakat, negara dan umat manusia.

Atlet-atlet ini pada dasarya pejuang-pejuang sejati yang penuh vitalitas dan memiliki tekad besar menggunakan fungsi fisiknya guna mengekspresikan identitas penuh mereka.

Mereka memang setara dan kita patut memandangnya demikian. Bahkan orang-orang seperti Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali meminta semua dari kita memperlakukan mereka sama dengan yang lainnya, termasuk cara media melukiskan perjuangan mereka dalam Peparnas Papua.

Baca juga: Lukas Enembe sebut Peparnas XVI Papua adalah panggung kesetaraan

Sayang, perjuangan mereka itu tak beroleh layar selebar atau sedramatis yang telah diberikan kepada PON atau turnamen-turnamen olah raga lainnya.

Pragmatisme pasar dan mungkin asumsi kurangnya drama yang menjadi salah satu aspek terpenting dalam tayangan audiovisual, membuat Peparnas tak luas dikupas oleh media.

Padahal ada banyak drama yang bisa diekspos dari Peparnas, terutama perjuangan keras manusia dalam mengatasi keterbatasan guna mencetak prestasi dan pencapaian-pencapaian tertingginya.

Sebaliknya ada yang mempertanyakan signifikansi menggelar Peparnas di tengah pandemi COVID-19.

Pertanyaan seperti ini bisa dijawab dengan menyatakan dari Peparnas Papua inilah orang bisa belajar bagaimana melawan keterbatasan.

Peparnas Papua juga menjadi kesempatan untuk menunjukkan bahwa manusia itu pada dasarnya pejuang.

Dalam kaitan itu, ada filosofi indah dalam Paralimpiade bahwa, “Jangan lihat apa yang hilang dari Anda, tapi manfaatkan saja apa yang masih ada pada Anda."

Dan atlet-atlet Peparnas Papua itu telah dan tengah membumikan filosofi agung yang memuat semangat pantang menyerah itu, selain melukiskan orang-orang yang mandiri, senantiasa optimistis dan tak putus harapan kendati dihadapkan kepada seberat apa pun kekurangan yang dihadapinya.

Itu semua pelajaran besar. Oleh karena itu, Peparnas Papua tak saja mengajak Indonesia meninggikan kesetaraan, tapi juga ajang menularkan semangat tidak pernah berhenti berjuang, apa pun
keadaan kita.

Baca juga: Lukas Enembe: Kenali aku karena kemampuanku, bukan karena keterbatasan
Baca juga: Menko PMK: Pendidikan atlet difabel jangan sampai terhambat
Baca juga: Ketua NPC puji Presiden dan Menpora atas dukungan Peparnas Papua

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Irwan Suhirwandi
Sumber: ANTARA