KTT ASEAN 2023 dihelat saat dunia mengarungi Perang Dingin baru, tercermin dari menajamnya rivalitas dan polarisasi antara Amerika Serikat dan China serta dukung-mendukung terkait Perang Rusia-Ukraina.
Pembentukan aliansi pertahanan AUKUS (Australia, Inggeris, dan AS) pada 15 September 2021 dan rencana pembukaan kantor Aliansi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Tokyo, tentu tujuannya untuk mengimbangi sepak terjang China di Laut China Selatan (LCS) dan di Pasifik.
Melonjaknya anggaran militer global sebesar 3,7 persen menjadi 2.240 miliar dollar AS (sekitar Rp33.400 triliun) menurut Institut Riset Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI), juga salah satu cerminan suasana Perang Dingin baru.
Presiden Jokowi dalam jumpa pers pada akhir pertemuan (11/5), antara lain, mengemukakan RI ingin melihat ASEAN mampu menghadapi tantangan, tanggap terhadap dinamika, serta tetap memegang peran sentral di kawasan.
ASEAN saat ini juga terus mematangkan perspektif pertahanan guna melengkapi pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik (ASEAN Outlook on the Indo-Pasifik/AOIP) yang digagas RI dan disepakati pada 2019.
Pada KTT Ke-42 ASEAN, empat poin bahasan AOIP (29 – 32) masuk dalam 125 poin Pernyataan Ketua ASEAN 2023 selain poin-poin terkait kerja sama penanggulangan perdagangan orang seperti dialami 20 WNI dalam kasus bisnis online scams di Myanmar yang diselamatkan pemerintah RI baru-baru ini.
Terkait penguatan kerja sama ekonomi, ASEAN sepakat membangun ekosistem mobil listrik dan menjadi bagian penting rantai pasok global dengan menempatkan hilirisasi industri sebagai kunci.
Jokowi juga menyinggung penguatan implementasi transaksi mata uang lokal (local currency transaction-LCT) antarnegara anggota ASEAN) dan konektivitas pembayaran antarnegara.
“Prinsip Indonesia dalam keketuaan ASEAN adalah kolaborasi dan kerja sama. Kita tidak inginkan ASEAN sebagai proksi siapa pun atau negara mana pun. Kita inginkan ASEAN yang terbuka, “ ujar Jokowi tiga hari menjelang KTT ASEAN Ke-42.
Jokowi juga menekankan pentingnya kolaborasi guna menjaga posisi ASEAN sebagai epicentrum of growth mengingat besarnya potensi di kawasan ditandai pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata dunia (3,4 persen pada 2021) dan jumlah penduduk kelas menengah yang terus meningkat (65 persen pada 2030).
Krisis Myanmar
Sementara itu, bagi ASEAN yang ingin tampil sebagai kawasan demokratis, krisis kemanusiaan Myanmar bagai “duri dalam daging” yang harus segera dituntaskan, walau faktanya tak semudah membalik telapak tangan.
Krisis Myanmar adalah isu lawas dan terjadi sejak pengambilalihan kekuasaan sipil oleh militer (Tatmadaw) dipimpin Jenderal Ne Win pada 1962 sampai 1988 saat negeri itu diwarnai aksi perlawanan yang menewaskan ribuan orang.
Liga Demokrasi Nasional (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi memenangi pemilu pada 1990 namun tidak diakui, bahkan junta militer terus bercokol hingga 2015 sampai NLD menang lagi dan bisa menjalankan pemerintahan sampai 2021.
Jenderal Senior Min Aung Hlaing lagi-lagi melancarkan kudeta pada 1 Februari 2021 dan menganulir kemenangan telak NLD atas kubu proksi militer Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan - USDP dengan perolehan kursi di parlemen 396 berbanding 33 pada Pemilu 8 Novemver 2020.
Setelah itu krisis kemanusiaan di Negeri Seribu Pagoda itu makin dalam, diwarnai aksi-aksi perlawanan massa prodemokrasi yang menurut laporan Kantor HAM PBB sudah menewaskan 3.940 orang, 17.572 ditahan dan berdampak di 330 kota (sampai Februari 2023).
Pemimpin ASEAN dalam pertemuan di Jakarta, 24 April 2021, menyepakati Lima Butir Konsensus (FPC) solusi krisis Myanmar yang dua butir di antaranya yakni penghentian kekerasan secepatnya dan dialog konstruktif oleh para pemangku kepentingan.
Tiga poin lainnya yakni penunjukan Utusan Khusus ASEAN guna memfasilitasi proses dialog, pemberian peluang pertemuan bagi utusan tersebut dengan para pihak bertikai serta dibukanya akses bagi penyaluran bantuan kemanusiaan bagi penduduk Myanmar.
Alih-alih melaksanakan lima butir konsensus ASEAN, junta Myanmar seolah-olah mencemoohnya dengan menyebutkan “Kami baru akan mengimplementasikannya setelah mengalahkan teroris (massa prodemokrasi-red)”. Pernyataan itu alias sama saja dengan menolaknya.
Konsisten pada Komitmen
Sementara itu ke depan, seperti disampaikan oleh dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pajajaran Teuku Rezasyah, ASEAN harus konsisten pada komitmen terkait Zona Damai, Bebas dan Netral (Zopfan), Kawasan Bebas Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) dan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS).
“ASEAN juga harus tetap tegas atas komitmennya, tidak berniat masuk aliansi militer mana pun, “ ujar Rezasyah.
Mengenai negosiasi antara ASEAN dan China terkait Panduan Tata Perilaku (CoC) di Laut China Selatan (LCS) yang sudah dimulai sejak 2002, sampai hari ini hasilnya belum terwujud sehingga perlu dituntaskan.
Kawasan LCS seluas dua juta km persegi yang 90 persen yang diklaim oleh China dan masih disengketakan oleh Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam sewaktu-waktu bisa berpotensi menuai konflik jika CoC belum disepakati.
RI tidak memiliki wilayah sengketa di LCS, namun klaim China di kawasan dalam sembilan garis putus-putus (Nine Dash Line) termasuk di wilayah ZEEI sebagai perairan operasi nelayan tradisionalnya juga bisa berujung konflik.
Segudang pekerjaan rumah atau PR masih tersisa untuk dituntaskan oleh presidensi RI di ASEAN 2023 dan juga negara-negara anggota lain yang nanti memegang tongkat estafet tahunan berikutnya.
* Penulis adalah mantan Wapemred LKBN ANTARA
* Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi atau posisi Kantor Berita ANTARA
Editor: Achmad Zaenal M
Sumber: ANTARA
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber (ANTARA, RRI atau TVRI).