KBRN, Jakarta: Akar sejarah politik identitas adalah gerakan moral dan perjuangan kelas, untuk melepaskan diri dari penindasan dan kesewenang-wenangan. Diingatkan akan ada risiko besar jika masih memakai politik identitas dalam Pemilu 2024
“Namun Pemilu di Indonesia, Amerika, Belanda, dan Italia di abad 21, menunjukkan batasan mengenai komunikasi politik populis dan politik identitas menjadi kabur. Keduanya digunakan untuk memburukkan pihak lain, juga untuk membuat batasan antara kawan dan lawan,” kata Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso, saat ditemui di kantor DPW LDII Papua Barat usai acara Musyawarah Wilayah IV LDII Papua Barat, pada Selasa (26/9/2023).
Pemilu lalu, menurutnya, para elit politik menggunakan politik identitas untuk menandai atau melabel pihak lain. Bukan untuk membangkitkan semangat membangun bangsa dan negara, sebagaimana lahirnya teori politik identitas.
Dari penggunaan politik identitas yang negatif itu, kata dia, melahirkan komunikasi politik populis. Komunikasi politik populis adalah bentuk komunikasi yang menyalahkan pihak lain, atas kegagalan negeri ini.
“Bentuknya terlihat, kelompok-kelompok agama menyalahkan para nasionalis jauh dari Tuhan, sehingga negara menjadi gagal. Sementara kelompok nasionalis mengatakan kegagalan bangsa akibat pola pikir konservatif para pemuka agama,” kata dia.
Di Italia, Jerman, dan Belanda menurutnya, para elit politik sayap kanan menuding penyebab sempitnya lapangan kerja. Juga penurunan ekonomi dialamatkan kepada para imigran Timur Tengah.
"Sama halnya saat Amerika Serikat di bawah pimpinan Presiden Trump. Menuding imigran Meksiko mengambil alih lapangan kerja warga,” ujarnya.
Politik identitas dan komunikasi politik populis, menurutnya, terbukti mampu memikat pemilih juga membangkitkan fanatisme. Namun ada risiko yang lebih besar.
"Keutuhan, persatuan, dan kesatuan bangsa menjadi taruhan. Cita-cita luhur berdirinya negara dan bangsa Indonesia jadi pertaruhan hanya karena Pemilu lima tahun sekali," ucap dia.
Ia pun mengingatkan para elit politik agar bersikap dewasa, dengan tidak membawa gaya kampanye politik identitas. Dalam menghadapi Pemilu 2024.
"Saya minta seluruh elit politik supaya lebih dewasa, dalam mensikapi, tidak termakan pola-pola komunikasi politik populis. Dan praktik politik identitas yang berakibat timbulnya perpecahan,” katanya.
Bangsa Indonesia yang memiliki keberagaman suku, agama, dan ras, menurut dia merupakan ladang subur tumbuhnya politik identitas. Apalagi, untuk keperluan instan menarik suara, politik identitas sangat rentan digunakan para elit politik.
Ia pun berpesan, agar masyarakat tidak terprovokasi dan menyadari, Indonesia ini dibangun atas dasar perbedaan. “Dan sudah seharusnya perbedaan itu tidak dipermasalahkan lagi,” katanya.
Ia pun juga mengimbau para elit politik untuk menyadari risiko perpecahan, bila masih menggunakan gaya lama dalam kampanye Pemilu. Selain itu, ia juga meminta pihak-pihak lain jangan menunggangi tahun politik demi popularitas.
"Membuat kegiatan yang mendiskriminasi pihak lain di tahun politik, justru motifnya perlu dicurigai. Sekadar untuk popularitas atau memang ingin memecah belah bangsa,” kata KH Chriswanto.
Antara popularitas dan ingin memecah blah bangsa, menunjukkan ketidakdewasaan dalam berbangsa dan bernegara. Justru, menurut KH Chriswanto, bila ingin memperoleh panggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Semua pihak harus menunjukkan kontribusinya dalam membangun negara. Bukan malah membuat gaduh atau menista pihak lain," ujar dia.
Pewarta: Tsalisa Nur Aini
Editor: Mosita
Sumber: RRI