RRI

​Debat KPU dan Bawaslu RI Dipersidangan DKPP

14 September 2023 07:25 WIB
​Debat KPU dan Bawaslu RI Dipersidangan DKPP
Seluruh Komisioner KPU RI saat hadir dalam persidangan DKPP terkait perkara aduan Bawaslu RI tentang terbatasnya akses Silon Pemilu 2024, di Jakarta, Rabu (13/9/2023). (Foto: Humas DKPP)

KBRN, Jakarta: Perdebatan antara Komisioner Bawaslu dan KPU RI di dalam ruang sidang DKPP, berlangsung panas. Perdebatan itu terjadi saat sidang lanjutan pemeriksaan Ketua dan Anggota KPU RI atas dugaan pelanggaran KEPP.

Perkara nomor 106-PKE-DKPP/VIII/2023 tersebut, diadukan oleh Ketua dan Anggota Bawaslu RI. Dengan pokok aduan, terkait pembatasan akses data dan dokumen pada Sistem Informasi Pencalonan (Silon).

“Ini bukan soal komunikasi maupun personal, karena persoalan tersebut bisa kita selesaikan dengan ngopi bareng. Tetapi masalah lembaga diselesaikan secara normal yaitu melalui DKPP ini,” kata Pengadu II Totok Haryono dalam Ruang Sidang DKPP Jakarta, pada Rabu (13/9/2023).

Pembatasan akses Silon, pembatasan jumlah personel dan durasi pengawasan, menurut Totok, bukan pelanggaran administrasi melainkan persoalan etika. Oleh karena itu, pihaknya memutuskan untuk mengadukan ke DKPP.

"Akibat pembatasan tersebut, dari tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, Bawaslu dicap ‘tukang’ meminta dan mencari data. Bahkan, Bawaslu disebut dengan pembuat rusuh," ucap Totok.

Tidak hanya itu, Totok menegaskan, pihaknya bisa melakukan tugas pengawasan lebih jauh jika diberikan akses Silon. Terutama dalam pencegahan, seperti tercantum dalam Pasal 520 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

“Misalkan soal syarat calon, melalui KTP apakah benar usianya sudah memenuhi, kalau terkait pidana, kepailitan, dan lainnya apakah benar sudah memenuhi syarat, sehingga kita bisa melakukan pencegahan secara patut,” ujar Totok.

Lalu, Totok merasa kecewa, karena KPU memberikan data mentah kepada Bawaslu terhadap ketika memberikan akses Silon. Seperti, hanya sebatas nomor urut, foto calon, daerah pemilihan, dan surat keterangan tidak berstatus narapidana.

“Itu data mentah, kita juga butuh akses syarat-syarat calon lainnya. Sehingga bisa maksimal melakukan pengawasan dan pencegahan,” kata Totok.

Rasa kecewa juga diungkapkan oleh Pengadu I Rahmat Bagja, mempersoalkan waktu terhadap akses Silon. KPU membatasi Bawaslu dalam akses Silon selama 15 menit.

“Hanya 15 menit bisa apa, sementara alat rekam dan foto tidak perbolehkan, hanya alat tulis. Sementara kami tidak punya memori ingatan yang besar, sehingga bagaimana kami mau mengawasi,” tegasnya.

Jawaban KPU RI

Teradu II Mochammad Afifuddin menegaskan, telah memberikan akses Silon kepada para Teradu. Namun, tidak semua data yang diminta Pengadu diberikan karena terbentur dengan peraturan perundang-undangan.

“Jadi yang bisa dibuka Pengadu itu hanya data-data umum saja. Data rahasia, misalnya terkait data pribadi atau hal yang belum bisa kita ungkap harus ada aturan bisa membukanya,” kata Afifuddin.

Lalu, Afifuddin mengaku, mengetahui Pengadu melayangkan surat permintaan akses terhadap Silon sebanyak empat kali. Dalam sidang pemeriksaan, pihaknya mengakui hanya membalas satu surat-surat tersebut.

Kemudian, Idham Holik selaku Teradu VI menekankan, para Pengadu bukan verifikator administrasi pencalonan. Selain itu, Bawaslu memiliki mekanisme pengawasan partisipatif akses Silon selama 24 jam jika ada laporan pelanggaran.

“Tidak ada peraturan yang kami langar dalam hal ini. Semua peraturan telah kami laksanakan dalam penyelenggaran Pemilu ini,” kata Idham.

Dalam penyelenggaraan Pemilu, ditegaskan Yulianto Sudrajat (Teradu V), pihaknya berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Tetapi dibatasi juga oleh undang-undang lainnya, seperti Perlindungan Data Pribadi dan Kertebukaan Informasi Publik.

“Kalau masalah terkait akses Silon, seharusnya persoalan ini masuk dalam sengketa di Komisi Informasi Pusat,” ucap Yulianto.

Pewarta: Dedi Hidayat
Editor: Mosita
Sumber: RRI